Part 16

2.9K 61 3
                                    

Mata kirinya kukompres, mata kanannya terus menatapku. Diperhatikan seperti itu membuatku merasa aneh. Kutekan keningnya dengan ujung telunjukku, sehingga kepalanya terantuk ke sandaran kursi.

“Aduh,” ringisnya.

Kuberikan handuk berisi es batu itu ke tangannya.

“Kompres sendiri!”

“Giliran denganku kamu selalu kasar. Tetapi dengan pria celana cingkrang itu kamu sok imut,” gerutunya.

“Hafid, namanya Bang Hafid.” Kutegaskan setegas-tegasnya biar dia makin panas.

“Terserah namanya siapa.”

“Tentu saja aku tidak pernah kasar padanya. Dia itu ... SHOLEH,” ucapku dan meninggalkan dia dengan mulut menganga. Kurasa dia makin panas karena dibanding-bandingkan.

♫♫♫♫♫

Setelah kejadian malam itu, Aditya sepertinya marah padaku. Bukan salahku juga, memang benar Bang hafid itu sholeh. Tidak bisa dibandingkan dengan dia. Calon imam yang sempurna pokoknya.

Saking marahnya dia bahkan tidak menawariku untuk berangkat bersama. Sarapan pun dia tidak mau satu meja denganku. Dia menyuruh Nurma mengantarkan sarapan ke kamarnya.

Matanya masih membiru, kulihat dia memakai kaca mata hitam untuk menutupinya. Kalau di luar ruangan sih oke lah, tetapi kalau di dalam ruangan pasti gelap.

Aku memanaskan motor, dia juga memanaskan mobilnya. Dengan gaya angkuh sok keren, dia melewatiku dan memandang sinis, lalu melaju dengan mobilnya, dia sengaja menggas sangat kencang sehingga meninggalkan kepulan asap di mukaku. Dasar. Kekanakan.

Hari ini mata kuliahku cukup padat. Tugas-tugas juga banyak. Pulang kuliah aku langsung istirahat, rasanya sangat mengantuk, semalam aku tidur hanya sekitar 3 jam. Belum lama terbuai mimpi aku dibangunkan Nurna.

“Maaf Ay, aku mengganggu.”

“Ada apa Nur?” tanyaku dengan mata masih setengah tertutup.

“Aku harus balik kampung. Anakku sakit, baru saja Ibuku nelpon. Kalau tidak parah, besok aku balik lagi Ay.” Wajah Nurna terlihat cemas.

“Iya ... iya Nur. Tidak apa-apa. Apa perlu kuantar sampai ke bus?” tawarku.

“Tidak usah Ay, aku sudah pesan ojek. Tolong kamu kasih tahu Ibu ya Ay,” pinta Nurna.

Aku mengangguk. Aku tahu betapa berharganya seorang anak bagi seorang Ibu, apalagi selama ini Nurna selalu jauh dari putranya.

“Hati-hati Nur.”

Nurna pernah bilang kalau kampungnya tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan 4 jam perjalanan dengan bus. Tetapi ini telah terlalu sore, semoga Nurna sampai dengan selamat dan bisa bertemu dengan putranya.

Setelah Nurna pergi aku langsung mengunci pintu. Sekarang aku hanya seorang diri di rumah sebesar ini. Bu Diani dan Pak Iswaya baru akan pulang esok hari. Jadi ... nanti malam aku hanya berdua dengan Aditya di rumah. Gawat!

Karena Nurna tidak ada, aku harus menyiapkan makan malam sendiri, sebelum diperintah Aditya nantinya. Tepat saat Magrib Aditya pulang. Aku membukakan pintu untuknya. Sama seperti tadi pagi, dia cuek tidak menyapaku sama sekali.

‘Ya udah lah ya, siapa juga yang berharap disapa olehnya. Nanti kalau dia butuh sesuatu pasti juga akan bicara sendiri,’ mataku terus mengiringi langkahnya yang kini naik ke lantai atas.

Apa begitu menyakitkan buatnya ketika dibandingkan dengan orang lain?

Aku kembali masuk ke kamar. Setelah sholat Magrib, seperti biasa aku selalu berkutat dengan laptop untuk melanjutkan pembuatan animasi. Sekarang aku mulai semangat karena setelah memasang g*ogle adsense, ada beberapa iklan yang muncul di kontenku. Lumayanlah.

PARASITE OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang