Capek pacaran terus, maunya nikah saja. –Aruna Divya
Divya memalingkan wajah ketika Gilang mulai membuka kancing kemejanya. Gilang yang terlalu cuek sehingga tidak merasa Divya sedang tidak nyaman berada di sini—hanya berdua dengannya. Apalagi laki-laki itu terkadang suka buka baju sembarangan, seperti sekarang.
Ruangan besar, pintu tertutup, hanya berdua.
Divya membuang napas kasar, isi kepalanya semrawut, dia terlalu lelah.
Gilang meliriknya, "kamu kenapa?" suaranya lembut.
"Fine." Divya langsung menjawab, masih menatap sembarang arah. Kini ia merogoh ponsel di dalam tasnya, memainkan media sosial untuk mengusir rasa kesalnya.
Gilang berjalan mendekat sambil menatap wajah kekasihnya, sementara itu kemeja belum terlepas dari tubuhnya. "Aku tahu kamu, Di. Kalau kamu bilang 'nggak ada apa-apa' berarti lagi ada masalah. 'Fine' menurutmu itu beda sama 'fine' yang diucapkan orang lain." Kini Gilang duduk di sebelah Divya, kekasihnya masih memainkan ponsel dan terlihat tidak peduli. "Kantormu lagi banyak kerjaan?" tebak Gilang.
Divya melirik Gilang sebentar, kaget, lalu memalingkan tatapan ke sembarang arah lagi. "Pakai baju jangan setengah-setengah dong, Lang." Omelnya ketus, yang justru membuat Gilang malah tertawa. Dia sudah biasa mendengar omelan Divya.
"Kamu itu makin cantik kalau lagi marah, Yang." Gilang masih berusaha menggoda sang kekasih.
"Aku serius. Pakai baju yang bener!" Divya beranjak ke kamar Gilang, membuka lemari dan mengambil salah satu kaus oblong untuk Gilang. Semua pakaian Gilang wanginya sama. Divya yang memilihkan pewangi sekaligus jenis parfum untuk Gilang.
Gilang nyengir lebar ketika Divya datang dengan melempar kaus untuk menutupi tubuhnya. "Pakai dulu." Lalu Divya memunggunginya beberapa menit sambil bersedekap.
"Kamu lagi marah sama aku, Di?" Gilang berdiri setelah selesai memakai kausnya, ia menghampiri Divya dan menyampirkan kemeja ke pundaknya. "Iya, kamu marah?"
Bukannya menjawab pertanyaan itu, Divya sibuk melipat kemeja Gilang dan berjalan ke belakang, meletakkan kemeja pada tumpukan cucian kotor. Gilang masih belum berhenti mengikutinya, laki-laki itu duduk di kursi pantry ketika Divya sedang membuat teh untuk mereka.
Sambil memandang wajah kekasihnya, Gilang tersenyum. Wajah yang cantik dengan kulit sedikit pucat dan tanpa polesan make up berlebih.
"Lang..." Divya menyurungkan teh yang sudah selesai dibuat. "Kamu kapan..."
"Kita jangan ngomongin itu dulu ya, Di." Potong Gilang.
Divya membuang napas kesalnya lagi, entah untuk yang keberapa kali. Ia menyesap teh. Memijat-mijat pelan keningnya, mendadak pusing memikirkan semua ini. Laki-laki di depannya tidak seratus persen mandiri, kadang ada beberapa hal yang kelihatannya sepele namun ia membutuhkan bantuan Divya, seperti menaruh baju kotor ke keranjang belakang. Divya pun senang membantu Gilang, menegurnya jika Gilang ada salah, atau lupa membuang bekas makanan dan membiarkannya di atas meja. Divya melakukan semua itu karena sayang pada Gilang. Dia yakin Gilang tidak butuh syarat apapun lagi untuk menjadi suaminya kecuali satu, keseriusannya sekarang juga.
Gilang masih menghindar. Dan terus saja begitu. Padahal Divya yakin sekali kalau Gilang mencintainya.
"Aku pulang habis ini," ucap Divya sambil meletakkan gelas tehnya.
"Aku masih kangen sama kamu, Di."
Mereka baru bertemu setelah dua minggu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Divya yang bekerja di Kantor Jasa Penilai Publik lebih sering dinas ke luar kota, sementara itu Gilang yang lulusan Teknik Informasi baru saja mendapat penawaran kerja bagus di perusahaan IT ternama di Jakarta. Keduanya sibuk, keduanya hanya punya waktu bertemu setelah semua urusan kantor selesai.
Gilang mendekat, tangannya menyentuh kepala Divya yang kini di tutup kain dengan rapat, sejak dua tahun lalu Divya memutuskan untuk mengenakan hijab. Gilang menerimanya walau agak bingung dengan keputusan kekasihnya yang mendadak. Sejak dua tahun lalu, ia tak pernah lagi melihat rambut Divya meskipun hanya sehelai.
Divya menarik diri dari Gilang, mundur selangkah. "Nggak enak lama-lama di sini, apa nanti kata orang?"
"Kita nggak ngapa-ngapain, Didi, Sayang..." Gilang menjawab dengan nada lembut. Bola matanya menyorotkan rasa sayang dan rindu.
"Kita cuma berdua, Lang." Divya berjalan ke living room, menghempaskan tubuh ke sofa. Ia Menatap Gilang malas, tapi mulutnya gatal untuk mengatakan sesuatu. "Kita sudah empat tahun..."
"Kamu mau bahas itu lagi?" Gilang ikut duduk, tatapannya datar kepada Divya. Ia tersinggung, Divya juga sama tersinggungnya. Mereka berdua sedang tak satu pemikiran, berada di kutub berbeda.
"Kamu yang nggak mau maju, Lang. Kita sudah empat tahun dan gini-gini aja. Bosen nggak sih hampir setiap minggu dapat undangan, kondangan sana-sini tapi status kita masih pacaran!" Divya langsung memberi pukulan telak pada Gilang ketika ia punya kesempatan. Semua sesak di dadanya sebagian tersalurkan. Ia marah. Ia kesal.
Gilang bergeming, tapi telinganya terpasang untuk mendengarkan.
Sementara itu emosi Divya sedang berada di puncak-puncaknya, ia menganggap Gilang tak mau membahasnya sama sekali.
Terlanjur kesal, gadis itu mengatakan sesuatu lagi. "Aku butuh kamu, Lang... kamu juga butuh aku, kan, Lang?" suara Divya agak bergetar, air mata sedang ditahannya. Dan itu sangat susah bagi Divya yang cengeng. Divya akhirnya terisak. Sampai kapan hubungannya akan seperti ini?
Gilang hampir menyentuh puncak kepalanya lagi, Divya menolak dengan menepis tangan itu.
"Kasih aku waktu, Didi..." ucap Gilang pelan. Ia tidak tega melihat kekasihnya menangis. Telinganya tak sanggup mendengar semua ini, permintaan menikah secepatnya dan tangisan. Untunglah ia masih bisa bersikap tenang, setenang air dalam kolam ikan kecil.
"Didi..."
"Apa?" akhirnya Divya agak melunak, Gilang mengelus pelan punggungnya supaya tenang.
Hanya Gilang yang bisa memahami Divya, dan juga sebaliknya, hanya Divya yang bisa memahami Gilang.
"Aku... mau... kita... selesaikan masalah ini sekarang." Kata-kata itu keluar diselingi isak pelan. Air mata masih belum berhenti. Gilang sangat sadar gadisnya itu cengeng, menonton film mellow saja bisa mengeluarkan air mata, apalagi saat berdebat begini. Sayangnya, sejauh ini Gilang belum memahami perasaan gadisnya yang ingin sekali meresmikan hubungan mereka.
"Aku nggak mau kamu mengambil keputusan disaat sedang emosi begini, Di." Gilang mengambil beberapa helai tissue dari kotak di atas meja. Tangannya sudah mendekat ke pipi Divya, namun tangan kecil itu kembali menepisnya, kasar.
Gilang berhenti melakukan sesuatu. Ia menyandarkan tubuh ke sofa. Berusaha menahan diri agar tidak terpancing.
"Apa susahnya sih, Lang... untuk kita menikah?" Divya terus-terusan membicarakan masalah yang sensitive bagi Gilang. Laki-laki itu sudah sering didesak olehnya semenjak Divya lulus kuliah, apalagi sekarang teman-teman mereka sudah banyak yang menyebarkan undangan. "Umur kamu sudah 27, Lang. Kamu butuh waktu sampai kapan? Aku harus nunggu kamu sampai umurku berapa, Gilang...?"
Ini bukan masalah umur, pikir Gilang kesal.
Gilang duduk tegak. Ia menatap wajah Divya lekat-lekat. Tangisan Divya masih belum berhenti, batinnya perih melihat itu semua. Perih! Juga kesal karena terus didesak dan disinggung.
"Aku nggak mau lihat kamu begini, jangan nangis dong, Di." Katanya, masih dengan suara lembut. Lalu tangannya bergerak untuk mengusap air mata di pipi Divya. "Kita bahas ini nanti ya?"
Perlahan Divya mengangguk, mengusap bekas air mata dengan bersih. Ia membereskan barang-barangnya, memasukan ponsel ke dalam tas dan beranjak. Tak ingin terjebak di sini terlalu lama.
"Aku antar kamu ya?" Gilang mencegat langkah Divya di pintu apartemennya.
"Aku bisa pulang sendiri,Lang." Jawab Divya datar. Ia menerobos tangan Gilang dan berjalan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Divya (REPOST 2021)
ChickLit"Sudah lama bersama, kenapa enggak nikah aja?" Itulah yang mengganjal di hati Divya, ia sudah mencoba mengajak kekasihnya bicara se-serius itu, namun belum ada tanda-tanda kesiapan menikah. Kekasihnya belum mau berkomitmen, Divya putus asa. Bagaiman...