Dia, Gilang

25.2K 1.7K 13
                                    

Saat hati lagi galau, hal selucu apapun dibilang basi! –Teman kerja



Sejak mengenal Divya, Gilang mencari tahu semua hal tentang dia. Wajah Divya yang dulu terlalu manis. Sejak kali pertama bertemu, Gilang tak bisa lupa potret Divya. Cantik, kulit bersih, rambut hitam sebahu dan sederhana.

Saat itu Gilang sedang sendiri, sudah lama ia putus dari pacar terakhirnya. Pada detik-detik terakhir ia menjadi mahasiswa ia menemukan seseorang yang pas di hatinya. Gilang menjomblo terlalu lama sampai diledek oleh teman-temannya, lebih dari dua tahun ia sibuk sendiri, tidak jalan dengan teman perempuan manapun. Benar-benar menikmati hidup sebagai mahasiswa yang tugasnya hanya belajar dan berorganisasi sampai ia mendapat predikat cum laude di hari wisudanya.

Setelah Gilang wisuda, ia tetap di Bandung menemai Divya yang masih harus menyelesaikan kuliahnya dua tahun lagi. Gilang di sana bekerja, Divya kuliah, mereka sering menghabiskan weekend bersama. Sampai akhirnya Divya lulus dan Gilang mengajaknya ke Jakarta. Tempat tinggal Gilang memang di Jakarta.


Semua hal tentang Divya kembali berputar dalam ingatan Gilang, laki-laki itu masih duduk di dalam mobilnya, menunggu kekasihnya keluar dari gedung. Ia memaksa ingin bertemu malam ini karena rindu, karena cinta, dan karena saat ini dia butuh kekasihnya.

"Sudah lama nunggunya?" Divya membuka pintu mobil sebelah kiri. Ia masuk dan duduk.

"Setengah jam, Sayang." Gilang memandang wajah lelah Divya, lingkaran hitam di bawah matanya agak kentara. "Kamu kecapean banget kayaknya. Pulang jam segini terus nih?"

Divya memberi cengiran, "baru jam sepuluh."

Gilang mengusap lembut kepala Divya. "Kamu sudah makan? Aku belum, Yang."

"Sudah, tadi nitip sama Frans. Aku temenin kamu aja ya. Mau makan dimana?"

"Mau masakin aku?" Gilang masih menatap wajah kekasihnya.

Divya terlihat berpikir. Kalau dia memasak, itu artinya harus ke apartemen Gilang dulu, sementara dirinya hanya tinggal di sebuah kost khusus perempuan. Gilang tidak boleh masuk.

"Nanti pulangnya aku antar, jangan kayak kemarin." Gilang membujuk. Divya tidak bisa menolak.

Divya mengangguk sambil memasang sabuk pengamannya. Lang, kamu itu butuh aku. Butuh aku banget, Gilang...

Apartemen yang Gilang miliki termasuk mewah, ukurannya lumayan besar dengan dua kamar besar, satu kamar khusus pembantu, dan letaknya di pusat kota Jakarta. Harganya pun tidak murah. Tidak heran, Gilang bukan dari kalangan biasa saja sebenarnya, tapi dia lebih memilih bekerja di perusahaan orang lain dibanding perusahaan keluarganya sendiri, hidup sebagai orang biasa dan membaur dengan teman-teman dari kalangan biasa sejak merantau ke Bandung. Ia lebih merasa bebas bila begitu, tidak tertekan dengan aturan keluarga yang superrumit.

Divya mulai menyadari kelas Gilang sejak mereka pindah ke Jakarta. Awalnya Divya kaget, ia merasa telah dibohongi oleh Gilang. Tapi Gilang berhasil membuat Divya memaafkannya, dia juga mengingatkan Divya bahwa saat di Bandung tempat kostnya jauh dari kata mewah. Divya semakin yakin pada Gilang setelah melihat kekasihnya itu bekerja keras sendiri tanpa mengandalkan bantuan keluarganya yang punya perusahaan dan pengaruh besar di ibukota. Dulu, mereka hampir saja putus. Hampir.

Masakan sudah matang, Gilang menarik kursi di meja makan dan duduk. Divya menyiapkan semuanya, memindahkan dari pantry ke meja. Nasi, sayur dan lauknya. Divya melayani Gilang seolah mereka sudah lama tinggal bersama. Menikah. Hati Divya sesungguhnya miris, kapan kekasihnya itu akan terbuka membicarakan pernikahan? Jika membahas itu, selalu saja ada adu debat. Ia lelah begini terus, lelah dan capek!

Gilang sudah menyuap makanan ke mulutnya, ia tidak pernah protes tentang masakan Divya. Walau hasilnya kadang biasa saja, ia tetap menikmati itu untuk menghargai Divya.

Divya memain-mainkan gelas bening di tangannya. Ia ingin bicara, ingin sekali mengungkap perasaan hatinya malam ini. "Lang, kamu tahu... soal aku yang punya cita-cita mau nikah muda?" ia sedikit lega, akhirnya ada lagi keberanian setelah pertengkaran malam kemarin.

Hening.

Divya masih memainkan gelasnya, matanya melihat Gilang yang masih mengunyah makanan dengan pelan.

Dalam diamnya, sebenarnya Gilang sedang mengingat-ingat sesuatu.


Hari itu, hari terakhir mereka tinggal di Bandung. Divya sudah membereskan semua barang-barangnya, tidak ada yang tertinggal satu pun. Gilang dan Divya akan pindahan ke Jakarta dengan mobil jemputan, orang tuanya Gilang yang mengirimkan mobil beserta sopir pribadi keluarganya.

Dalam perjalanan, mereka duduk berdua di kursi penumpang, kepala Divya bersandar ke pundak Gilang. Gilang setengah mengantuk, tapi telinganya masih on untuk mendengar suara selembut apapun.

Pada saat yang terdengar hanya deru mobil, radio yang dinyalakan sopir dengan suara minim, Divya mulai mendekatkan mulutnya ke telinga Gilang. Ia tahu Gilang terlelap, menurutnya laki-laki itu tidak akan mendengar bisikannya.

"Gilang..." ada jeda sebentar, Divya menarik napasnya dalam-dalam, "setelah ini aku mau nikah sama kamu, secepatnya."


Ya, mungkin itulah yang dimaksud oleh Divya saat ini, gadis itu tak mau menunda terlalu lama.

Gilang mengelap mulutnya dengan tissue, ia baru saja menyelesaikan makannya. Divya sudah bergerak untuk merapikan meja, Gilang duduk di tempatnya, hanya memandangi Divya yang sibuk mondar-mandir. Dia sebenarnya tidak bisa jauh dari kekasihnya, dia butuh Divya. Butuh sekali.

Kran air menyala, Divya mencuci bekas makan Gilang. Mungkin ini kesempatannya untuk bicara lagi, walau suaranya beradu dengan bunyi percikan air.

"Lang, lagian kita sudah lama pacaran. Kamu tahu nggak sih, Lang... rasanya kayak ada beban besar dalam diriku kalau kita terus-terusan begini." Divya tidak menoleh sedikitpun kepada Gilang. Tapi dia yakin, kekasihnya mendengar ucapannya. "Kalau sudah nikah kan enak, Lang. Kita bebas mau ngapain aja. Tinggal berdua, jalan juga berdua, aku bisa buatin makan untuk kamu setiap hari. Aku jadinya juga merasa nyaman dan nggak perlu mikir dosa, kan? Memangnya kamu nggak mikir kesitu juga?" Divya meletakkan piring dan gelas pada salah satu kabinet.

Ia menghela napas pelan. Sempat melirik Gilang sebentar, laki laki itu masih tetap bergeming. "Aku pulang sekarang, kamu masih mau anterin aku?" Divya duduk di samping Gilang.

"Aku antar." Ucap Gilang diiringi senyum tipis. Lagi dan lagi, Gilang tidak membahasnya sama sekali.

Divya mengalah. Ini sudah larut, dia khawatir rasa lelah dapat membuat mereka menjadi lebih sensitive hingga menimbulkan pertengaran lagi. 



Malam pukul 11.50 WIB. Mobil Gilang baru berhenti di depan gerbang kost Divya. Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan manis, tidak ada diskusi tentang acara makan malam selanjutnya, juga tidak ada yang mau menyalakan radio atau musik apapun. Mereka sama-sama hanyut dalam keheningan.

Divya sudah akan membuka pintu mobilnya ketika Gilang menahan lengannya. Divya menoleh dengan wajahnya yang terlihat sangat lelah, tak ada senyum sama sekali yang terukir di bibir tipisnya. Gilang merasa bersalah, ia mencintai perempuan ini. Amat sangat. Tapi target menikahnya bukan secepat ini, tidak sekarang. Belum lagi ada masalah lain di keluarga besarnya yang belum bisa ia ceritakan pada Divya.

"Hati-hati di jalan, Lang." Hanya itu yang keluar dari bibir Divya.

Mereka berpisah.Gilang tidak jadi mengatakan sepatah kata pun.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang