Katanya dunia ini nggak seru kalau nggak ada gosip, padahal sudah tahu itu dosa! –Karyawan rindu pergosipan
Frans dan Julia menyusul Divya yang sedang sarapan di meja pantry dekat jendela, pintu pantry itu langsung ditutup rapat oleh Julia yang masuk terakhir. Divya masih sibuk mengunyah makanannya, fokusnya belum teralihkan dari buah potong yang ia bawa dari kost.
Julia ikut duduk di samping kanannya, mencomot melon yang masih ada sensasi dinginnya. "Lo tadi ceritanya kepotong! Ulang dong, Frans." Julia menatap Frans yang sedang berdiri mengamati pintu. "Nggak ada orang, baru kita sama OB doang."
Divya melirik dua temannya, gemas. "Pagi-pagi sudah ada gosip, sarapan nih!"
"Ini tentang si Bos, Di, yang ketahuan lagi jalan sama cewek di Grand Indonesia." Terang Frans, "lo tahu nggak sih? Yang jalan sama bos itu cakeeep banget, model juga kalah deh!"
"Ada fotonya?" Julia iseng.
"Ah, emang gue paparazzi?" Frans ikut mencomot buah di kotak makan Divya. "Tapi ini gue serius, jadi tuh gue lagi di parkiran mau balik, nah Arya juga kayaknya mau balik juga. Gue nggak sengaja lihat mobilnya, bukan yang biasa dia pakai itu lho."
"Mobil ceweknya kali." Julia mengira-ngira. Divya tak mau ambil pusing, lagi-lagi bukan urusannya. Ia lanjut menghabiskan sisa buahnya yang tinggal beberapa potong lagi.
"Masa? Gue pernah lihat dia pakai BMW lho ke kantor. Pas balik bareng malam-malam itu... dia pakai mobil lain lah pokoknya." Jelas Frans dengan mimik meyakinkan teman-temannya. "Jangan-jangan dia nyamar? Anak konglo? Pemilik perusahaan?"
"Lo yakin Pak Arya pakai BMW ke kantor, cuy?" Julia mengernyitkan keningnya, tidak percaya. "Punya BMW ngapain masih ngantor di sini? Supervisor lagi, kurang keren buat penyamaran nggak sih?"
"Justru kalau nyamar tuh yang kelihatannya nggak dibutuhin, jadi kuli sekalian. Supervisor masih mending, aman-aman aja. Jabatan punya, kantong juga terisi." Divya ikut berbicara. Ia kembali teringat Gilang yang masih menjadi bawahan di perusahaan IT tempatnya bekerja.
Frans mengangguk mantap. "Serius, malam itu gue lembur dan mata gue belum siwer. Dia masuk mobil BMW hitam. Nah, yang di GI kemarin kayaknya bukan BMW, beda lagi." Frans sempat berpikir sejenak sebelum mencetuskan apa yang ada di kepalanya. "Gue rasa dia beneran konglomerat."
"Halu lho!" Julia mengibaskan tangannya. "Sekarang beli mobil gampang kali, tinggal cicil!"
"Kalu lo yang ngaku-ngaku kaya baru halu, ini kan Arya, Bos kita. Nggak salah analisis dong?" ujar Frans kekeh.
Divya tidak menyahut lagi, tapi kepalanya mulai sibuk berpikir. Ia teringat pertemuannya dengan Arya saat kondangan ke teman Gilang—yang isinya adalah orang-orang berada, kelas menengah ke atas. Bisa jadi yang dibilang Frans memang benar. Dan perempuan yang bersama Arya... mungkin juga perempuan yang ikut ke kondangan waktu itu, sepupunya, bukankah perempuan itu juga cantik—ya, benar, model saja kalah. Divya menggeleng malas, untuk apa dia mengorek-ngorek kehidupan pribadi bosnya?
"Nggak heran juga sih, lihat aja penampilannya yang selalu pakai kemeja mahal. Sepatu kulit yang bos pakai harganya lo tahu nggak?" Julia mulai percaya dengan analisis temannya—ketika Divya sibuk dengan isi kepalanya, Julia dan Frans masih sibuk berdebat soal Arya. Ia yang selama ini sadar fashion malah mengabaikan fashion bosnya sendiri.
Frans menggelengkan kepalanya karena tidak bisa menebak. "Tapi gue penah lihat, itu limited edition. Gue nggak sanggup ngebayangin harganya, kantong bisa-bisa jebol. Mending buat makan!" ia lanjut tertawa.
"Gue jadi curiga, sama kayak lo, Frans. Tapi, kenapa bos mau kerja di perusahaan ini ya? Nggak buka bisnis sendiri gitu?" tanya Julia bingung.
"Aa..."
Semua menoleh kepada Divya, ia baru membuka mulut dan semua tertarik mendengarnya.
"Mungkin cari pengalaman." Divya angkat suara, positive thinking. Dia jadi teringat Gilang, mantan kekasihnya itu sebenarnya juga suka barang-barang branded, namun karena Gilang berusaha mandiri sejak masih kuliah akhirnya dia cukup dengan merek lokal dan hidup biasa saja, yang penting nyaman. Oh, masih tentang Gilang lagi, ia tidak bekerja di perusahaan keluarganya karena merasa kaku dan tidak sebebas saat ia bekerja di tempat orang lain.
Berarti analisis Frans dan Julia makin mendekati benar, pikir Divya. Tunggu, kenapa dia jadi peduli pergosipan ini?
"Lo sebenarnya naksir si Bos nggak sih?" Frans penasaran pada Julia. "Kok pas gue cerita cewek tadi lo nggak cemburu atau kebakaran jenggot kek." Frans menaik-turunkan alis. Ingin tahu.
Divya memasang telinga demi mendengar jawaban temannya.
"Lo, Di? Nggak tertarik?" Belum juga Julia menjawab, Frans sudah tak sabar melempar pertanyaan itu pada Divya.
Dan gadis itu spontan mengerutkan kening, lalu menjawab, "gue baru putus kemarin, lo tanya gitu lagi." Sahut Divya galak dan judes.
"Hahaha... siapa tahu, kan?" tawa Frans terdengar renyah. Tidak peduli seberat apa beban di pundak temannya yang baru patah hati.
"Gue suka gantengnya. Tapi tipe gue sebenarnya yang badannya padat gitu, terus nggak kaku dan murah senyum." Julia tersenyum lebar. "Menurut gue bodi si Bos itu kurang berisi dikiiit lagi, nggak kurus juga sih. Proportional aja."
"Lo mau yang rada gendut, maksudnya?" Divya asal celpos, dibalas pelototan tajam dari Julia.
Frans terbahak-bahak, lama-lama semakin kencang sampai wajahnya merah. Frans belum selesai tertawa, mendadak pintu pantry-nya terbuka dan mereka semua kaget. Gretta muncul tiba-tiba, membuat suasana mendadak hening.
"Ya Tuhan... untung pas lo ngomong kayak tadi nggak ada orangnya." Bisik Julia pada Divya, lalu dia terkikik pelan.
"Itu body shaming, Jul." Komentar Divya pelan. "Gue nggak maksud ke mantan bos kita, gue ke lo, tipe lo!"
Frans buru-buru keluar karena tak sanggup menahan kram pada perutnya. Tak berapa lama, Julia ikut-ikutan kabur setelah selesai bicara dengan Divya. Tinggal Divya yang sedang membereskan kotak bekalnya di meja. Ia mencoba menyapa mantan bosnya itu.
"Pagi, Bu... mau buat kopi ya?"
Gretta tersenyum simpul, dia memang lebih ramah dan glowing setelah pindah divisi. "Teh tanpa gula, Di. Teh hijau."
"Lho?" mata Divya membulat, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu, takut mantan atasannya tersinggung akhirnya dia mengangguk. "Sama buah juga, Bu, buat ganjal perut," ujarnya, memberi masukan.
Gretta tidak menjawab, dia sibuk dengan sekotak teh celup hijau. Teh herbal untuk penurun berat badan. Divya hendak berlalu karena tidak ada urusan lain di pantry.
"Eh, Didi..." panggil Gretta, membuat langkah Divya terhenti sesaat sebelum akhirnya menoleh. "Kamu sarapan buah tiap hari karena jaga badan juga ya?" tanya Gretta dengan wajah ingin tahunya.
Divya menelan ludah,mengangguk kikuk, "iya. Bisa jadi." Lalu ia buru-buru menyusul teman-temannya.Mendaparkan berat badan ideal yang diinginkan para perempuan di luar sanaadalah bonus bagi Divya, selama ini dia hanya ingin hidup lebih sehat danmemulainya dari apa yang dia masukan ke perut. Hampir satu tahun berlalu, Divyamemakan buah dan sayur lebih banyak dari perkarboan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Divya (REPOST 2021)
ChickLit"Sudah lama bersama, kenapa enggak nikah aja?" Itulah yang mengganjal di hati Divya, ia sudah mencoba mengajak kekasihnya bicara se-serius itu, namun belum ada tanda-tanda kesiapan menikah. Kekasihnya belum mau berkomitmen, Divya putus asa. Bagaiman...