Kita hanya sepasang kekasih yang sudah lepas ikatan, hanya mantan. –Divya
Divya mengelurakan keycard apartemen dari dalam tasnya, milik Gilang belum ia kembalikan. Ia membuka pintu sambil mengucapkan salam ketika masuk ke apartemen Gilang, "Lang?" matanya sudah menemukan laki-laki itu yang kini terbaring lemah di sofa livingroom.
Gilang terlihat pucat pasi, tubuhnya dalam balutan selimut tebal, tisu berserakan dimana-mana, bekas ingus dan lap keringatnya. Tubuhnya menggigil, antara panas dan dingin beradu menjadi satu.
"Kamu masih pusing?" Tanya Divya yang sedang mengompres kening Gilang. Begitu ia tiba di sini, ia segera merawat Gilang dengan tulus.
Gilang menggeleng, "sudah minum obat, mendingan."
Sambil terus mengompres, Divya memperhatikan sekeliling. Kotor dan jorok, membuat ia tidak betah. Ia hendak bangkit, Gilang menahan lengannya.
"Jangan pergi, Di." Lirih Gilang, suaranya terdengar serak dan tidak bertenaga.
"Enggak."
"Makasih sudah datang, maaf merepotkanmu, Di." Suara Gilang kian lemah.
Divya mengangguk, wajahnya tertunduk menatap karpet yang sepertinya baru diganti.
"Kamu sudah makan malam? Dari kantor ya?" tanya Gilang beruntun. Ia melihat Divya masih mengenakan setelan kantoran.
Divya tidak menjawab, ia hanya menatap Gilang sebentar lalu kembali melamunkan entah apa. Pikirannya tidak benar-benar kosong, ada gelisah, galau, dan sepersekian persennya lagi—mungkin—rasa kesal. Kesal yang tidak bisa ia jelaskan, kesal yang... yang...
"Itu apa?" tunjuk Gilang pada kotak di atas meja, tepat di samping tas hitam Divya.
"Makanan." Rasa lapar Divya sempat hilang karena terlalu khawatir dengan Gilang. Ia kembali mengecek suhu Gilang, menyentuh keningnya dengan ragu-ragu. Masih sedikit hangat, ia kompres lagi.
"Makan, Di. Nanti kamu sakit." Lirih Gilang, pandangannya tidak lepas dari Divya yang tidak menjawabnya. "Dimakan, Didi..." Gilang terus-terusan membujuk sampai akhirnya Divya terpaksa makan walau sudah kehilangan selera.
Hening.
Divya akhirnya memutuskan untuk memakan makanannya di kursi yang lain, sementara itu Gilang memejamkan mata sebentar. Kadang kala ia bersin, juga batuk, tapi tidak parah. Divya masih lanjut makan sambil sesekali menoleh ke TV yang menyiarkan berita malam. Ada pembunuhan, kemalingan, kebakaran, korupsi, semua hanya sekelebat saja masuk ke telinga Divya lalu keluar lagi tanpa perlu masuk ke dalam memori otaknya. Ia masih mengunyah dengan lembut, makanan dari Arya enak juga rasanya. Dari restoran mana ya? Divya hendak membaca tulisan pada kotak untuk memastikan restorannya sampai akhirnya ia mendengar suara yang cukup mengagetkan.
"Hacihhh!!!"
Mendengar Gilang bersin lagi, dengan suara sekeras toa, Divya menghentikan makannya. Baru beberapa suap ia sudah merasa kenyang, benar-benar tak selera lagi jadinya. "Kamu mau aku antar ke rumah sakit? Ke dokter, Lang?" tawarnya prihatin. Sayangnya, laki-laki itu menggeleng.
Divya tidak mau memaksa, Gilang memang seperti ini kalau sedang kumat demam dan flunya, lebih memilih dirawat di rumah. Divya beranjak ke dapur, mencuci tangan dan mengambil minum. Sekaligus membawa peralatan untuk membersihkan tisu dan benda lainnya yang berserakan.
"Nanti biar aku saja, Di. Kamu duduk..." ujar Gilang yang memperhatikan gerak-gerik Divya. Gadis itu tidak bisa diam kalau ada sesuatu yang berantakan. Benar-benar salah satu ciri khas Divya, yang menurut Gilang unik. Mungkin gadis itu memang sungguh rajin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Divya (REPOST 2021)
ChickLit"Sudah lama bersama, kenapa enggak nikah aja?" Itulah yang mengganjal di hati Divya, ia sudah mencoba mengajak kekasihnya bicara se-serius itu, namun belum ada tanda-tanda kesiapan menikah. Kekasihnya belum mau berkomitmen, Divya putus asa. Bagaiman...