Mau musim liburan atau bukan, rumah tetap urutan pertama untuk dikunjungi, tidak ada duanya. –Si anak rantau
Divya berada di living room, duduk bersandar pada sofa kulit yang sudah ada sejak dia masih SMA, bapaknya belum mau mengganti yang baru karena masih nyaman untuk diduduki.
"Hahaha..." Divya tertawa-tawa sendiri dengan ponsel berada di tangan kirinya, tangan kanannya mengambil kripik ubi dari toples di sampingnya. Sungguh sebuah kenikmatan weekend yang hakiki. Tidak ada teriakan dari big boss-nya, tidak ada gangguan dua teman usilnya, dan yang jelas ia sedang bye-bye revisi!
Meninggalkan Jakarta, ialah salah satu cara untuk mengistirahatkan sejenak pikirannya dari pekerjaan dan kisah asmaranya bersama Gilang. Divya masih sibuk dengan ponselnya, ia menonton acara komedi sampai rasanya ingin menangis. Ia mengubah posisi, dari duduk menjadi berbaring. Perutnya mulai kram, ia menahan tawanya perlahan-lahan.
"Bu.. Bu.." Bapak memanggil istrinya yang sedang melipat pakaian di ruangan lain. "Anak kita kok ketawa-ketawa kayak orang nggak waras saja. Pulang dari Jakarta kelakuan jadi aneh!" beliau khawatir dengan tingkah Divya.
"Bapak ini sembarangan saja. Didi itu lagi lihat tayangan komedi di HP, kok dibilang nggak waras. Ucapan itu doa, Pak. Yang benar kalau bicara." Ibu menasehati suaminya.
"Lho, dari semalam gitu terus kerjaannya. Pulang dari kota bukannya nambah sehat jasmani rohani, malah ketawa-tawa sendiri. Apa namanya kalau bukan—."
"Husttt!" Ibu mengangkat telunjuk ke bibir bapak. "Didi itu anakmu lho, Pak. Jangan bicara macam-macam." Lalu ibu berlalu meninggalkan bapak, beliau sudah selesai melipat baju Divya dan suaminya.
"Didi... makan, Nak." Ibu menghampiri anak semata wayangnya, duduk di pinggir sofa dan tangannya mengelus puncak kepala Divya. "Ayo, Bapak sudah menunggu."
"Nggih, Ibuku sayang." Divya memeluk dan mencium ibunya dengan hangat.
"Bapak, ndak?" ujar bapak melihat kelakuan anak semata wayangnya itu. Divya mengangkat tubuhnya dari sofa, gantian merangkul bapaknya. "Sudahlah, tinggal di rumah saja. Ndak usah repot cari kerja di Jakarta." Pinta bapaknya yang sejak awal tidak setuju dengan kepergian Divya, apalagi dulu Divya sempat kuliah di Bandung karena tidak mau menetap di Yogyakarta. Cita-cita Divya sejak SMA adalah ingin merantau, melihat kota lain di Jawa.
"Biarlah, Pak. Didi lagi cari pengalaman." Bela ibu. Dulu ibu pun pernah seperti Divya, merantau keluar kota selama bertahun-tahun, ibu juga sekolah tinggi sampai S-2 di Jakarta, beliau sempat mengajar di salah satu Universitas Negeri di sana, tetapi orang tuanya kemudian menyuruh ibu pulang karena sampai usia 32 tahun ibu belum juga menikah.
"Di, kamu tahu, kalau bapak dan ibumu sudah semakin tua itu artinya kamu juga semakin dewasa." Disela-sela makan, bapak tiba-tiba berbicara. "Umurmu tahun ini sudah berapa?" bapak sudah mulai lupa dengan usia anaknya sendiri.
"Bapak langsung saja ngomongnya, anak zaman sekarang nggak usah diajak muter-muter kalau ngobrol. Intinya saja." Ibu turut angkat suara. Beliau ganti menatap wajah Divya yang duduk di seberangnya. "Maksud Bapak itu, kamu mau kenalin Gilang kapan, Nduk?"
Mendengar itu Divya hampir tersedak, ia buru-buru menelan makanan yang belum selesai dikunyah, meminum air putih dingin sebanyak mungkin dan bersiap menjawab pertanyaan bapak serta ibunya.
"Dua-lima, Pak." Ia ganti menatap wajah ayu ibunya, "doakan saja, Bu. Gilang masih sibuk."
"Jangan terlambat menikah kayak ibumu, jadinya umur 33 baru punya anak satu. Kamu kesepian kan karena ndak punya saudara?" Bapak menatap Divya intens.
Divya hanya bisa mengangguk, ia berusaha menyembunyikan raut sedihnya. Ia tidak ingin membuat orang tuanya kecewa. Hanya Tuhan yang tahu bahwa ia sudah berusaha membujuk Gilang tapi belum ada hasil.
Bapak masih memandangi wajah anak tunggalnya, wajah Divya yang cantik menuruni wajah priyayi ibunya, tetapi ia lebih tinggi dari ibunya karena menuruni postur bapak, dan dua lesung pipit mirip sekali dengan kakek dari pihak bapak. Wajah anak gadisnya sangat manis, ayu seperti puteri Jawa.
Bapak sudah menyelesaikan makannya, ibu membereskan piring di depan bapak. "Nduk, Sisilia itu kerjanya apa? Dia kok kelihatannya jalan-jalan terus keluar negeri?" bapak menyebut nama salah satu sepupu Divya yang juga merantau ke Jakarta. Dia dan Sisilia pernah satu sekolah sampai tamat SMA, selanjutnya Sisilia lanjut kuliah di Jakarta hingga akhirnya dapat kerja di kota yang sama juga.
"Kerja di Bank, Pak. Kebetulan Bank-nya punya cabang di Singapore, jadi ya Sisil sering kesana." Divya mengambil minum, ia juga sudah selesai makan. "Sudah lama aku ndak ketemu dia. Memang kenapa tho, Pak?"
"Lebaran kemarin Sisilia bawa pacarnya yang orang Bandung. Ganteng dan gagah."
Divya tidak bisa menebak raut wajah bapaknya, tapi dari perkataan bapak barusan dia tahu apa yang diinginkan bapaknya saat ini. Harusnya dia juga membawa Gilang menemui orang tuanya sekarang. Harusnya dia tidak pulang sendiri lagi. Divya melihat senyum di wajah bapaknya luntur, kelihatannya bapak agak kecewa karena Divya masih datang seorang diri.
"Iya, namanya Jerio." Divya menjawab sambil berdiri, meletakan piring bekas makannya ke dekat wastafel. "Didi sempat dikenalkan sama Sisil, Jerio itu dulunya teman kuliah Sisil sih, Pak."
"Oh, sama dong kayak kamu dan pacarmu itu, Nduk? Kuliah satu kampus." Bapak terlihat antusias.
"Sudah, Pak. Yang penting Gilang sama Didi hubungannya baik-baik saja." Senyum ibu mengembang. Tapi ibu mulai lagi, sama seperti bapak. "Nduk... kalau bisa ya jangan lama-lama. Nggak baik dilihat orang, meskipun kamu tinggal di Jakarta yang katanya cuek dan individual. Bapak sama Ibu tetap khawatir, apalagi nggak bisa awasin kamu."
Bapak membuang napas pelan, diam.
"Mana pergaulan sekarang aneh-aneh, ibunya Sisil bilang katanya si Sisil pernah ketahuan keluar dari klub malam. Jerionya juga sama."
"Insya Allah Didi nggak akan nakal, Ibu..."
"Jaga diri kamu, Nduk. Bilang ke Gilang, nggak perlu mewah kalau mau nikah, yang penting sah menurut agama dan negara. Dan nggak usah lama-lama."
Divya yang berdiri disamping ibunya hanya bisa mengangguk. Itulah yang ia pikirkan hingga detik ini.Ia mulai tidak nyaman dengan status 'pacarannya' sekarang. Benar, semenjak iamemutuskan untuk berjilbab, ia pun sadar kesalahan mana saja yang harus diahapus dalam hidupnya. Statusnya dengan Gilang adalah salah satu beban danperdebatan batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Divya (REPOST 2021)
ChickLit"Sudah lama bersama, kenapa enggak nikah aja?" Itulah yang mengganjal di hati Divya, ia sudah mencoba mengajak kekasihnya bicara se-serius itu, namun belum ada tanda-tanda kesiapan menikah. Kekasihnya belum mau berkomitmen, Divya putus asa. Bagaiman...