Guys aku mau minta tolong sama kalian, share cerita ini dan ajak teman-teman buat baca yuk
Soalnya aku butuh satu juta pembaca buat ngajuin novel ini ke salah satu rumah idaman semua penulis, pengeeennn banget rasanya karya ini bisa dijadiin buku fisik.
Biar bisa dipeluk sama kalian juga ;')
makasih buat dukungan dan partisipasinya selama ini. Tetap lanjutkan!!
***
Katanya, sepandai-pandainya kita menyimpan durian di dalam koper, pasti akan tercium juga baunya. –Edisi ketahuan
Siang itu suasana kantor agak sepi, berhubung Frans masih masa-masa honeymoon dan Julia belum balik dari Bandung, maka di pantry hanya ada dua orang, Wiwit dan Divya. Divya tidak ketinggalan kotak bekalnya, ia masak di kost lagi, sementara Wiwit sedang senang berburu makanan lewat aplikasi ojeg online yang sedang tebar diskonan.
Divya membuka kotak bekalnya, berisi nasi goreng dan telur dadar, membuat Wiwit ingin mencicip. "Nyokap gue mau ke Jakarta ketemu temennya. Masa gue ajak tidur di kos ya? Nggak enak dong." Ia membuka percakapan di ruang sepi ini.
"Ke hotel aja sih, berdua. Berapa malam memangnya?" Wiwit menyendok nasi goreng di seberangnya. "Lumayan lho, lain kali bawa dua kotak ya, buat gue satu." Cengiran Wiwit terlihat lebar, ia memuji hasil masakan Divya.
Divya tersenyum tipis menanggapi itu. "Dua malam."
"Ya udah, sewa kamar. Jangan pusing deh kayak orang susah aja!" Wiwit mulai membuka bungkus makanannya sendiri. Ayam geprek sambal ijo, bau sambalnya menggoda selera.
"Oke, deh."
"Terus hotelnya yang deket tempat temennya nyokap lo, supaya beliau nggak kecapekan di jalan. Jakarta itu bikin lapuk di jalanan, Non. Kasian nyokap lo nanti," tutur Wiwit, kali ini terdengar begitu bijak.
"Hah, bener juga. Lo kok pinter, Wit?" Divya tersenyum sampai matanya menyipit.
"Sialan! Dari dulu kali." Wiwit baru mau mencubit lengan temannya, tapi temannya sudah keburu menghindar.
"Kalau dari dulu lo se-wow itu ngapain Julia minta review-nya sama gue ya?" Divya nyengir kuda. Sebenarnya ia sedang menyinggung soal revisian, kemarin saat Julia meminta bantuan pada Wiwit untuk review laporannya ternyata masih banyak yang kurang ketika sudah sampai di tangan Arya. Dengan terpaksa Julia harus keluar masuk ruangan Arya untuk membetulkan.
"Udah deh, jangan ngeledek. Yang otaknya lebih encer dari gue aja bisa bolak-balik seratus kali. Ko Frans tuh, sama bos baru kalian saja masih kelihatan ceroboh." Wiwit memberi pelototan tajam, ia mengakui bahwa Divya dan Frans lebih bisa diandalkan dibanding dirinya. Makanya bu bos mereka yang dulu lebih banyak memberi beban kerjaan kepada dua orang itu daripada Julia.
Wiwit masih tidak mau kalah. "Frans yang senior aja masih sering salah kok." Ia menoleh ke pintu pantry, di sana baru saja masuk seseorang dengan tubuh tegap dan wajah datarnya. "Eh, Bapak mau ikutan makan siang juga?" sapa Wiwit beramah-tamah.
Arya menggeleng dan tersenyum singkat, "bukan, saya mau ke Divya sebentar." Lalu ia berjalan mendekati tempat duduk Divya sambil meletakkan sebuah report di atas meja. "Ini file-nya sudah di e-mail ke klien?"
"Belum, Pak." Divya menatap report yang baru ia serahkan satu jam sebelum jam istirahat tiba. "Bapak sudah selesai cek ya?"
"Saya percaya sama kamu, Di." Jawaban Arya terlihat enteng. Divya melirik temannya yang sedang berusaha menahan kata-kata untuk memuji atau mencibir. Bisa juga dua-duanya keluar dari mulut tipis Wiwit. "File nya ada di folder biasa, kan?"
Divya mengangguk, "benar, Pak."
"Pak Hartono minta datanya sekarang, saya saja yang e-mail ke dia." Lagi-lagi Arya berujar enteng, seolah dia sudah sering melakukan hal yang sama.
Wiwit nyaris tersedak, ia menahan dengan buru-buru menutup mulutnya dan lari ke wastafel.
"Pinjam komputer kamu sebentar ya Di?" tanya Arya.
"Baik, Pak. Makasih sebelumnya." Divya menurunkan sendok yang dari tadi dipegangnya. Setelah Arya keluar dia sudah langsung kena serbuan Wiwit.
"Bos lo baik banget? Datar-datar saja sih, tapi memang begitu ya?" Wiwit penasaran, ia lanjut bertanya lagi. "Dia suka buka-buka file lo dari komputer lo juga? Nggak ngeri tuh?"
Divya menggelengkan kepalanya, mimiknya terlihat santai dan tidak cemas sama sekali, ia menyuap nasi goreng ke mulut dan tidak mau menanggapi serbuan Wiwit. Memang aneh, sejak kejadian mereka lembur berdua di kantor ini—yaitu ketika Divya sakit dan nyaris pingsan—Arya jadi lebih sering membantu pekerjaannya. Divya menganggap itu sebagai hal yang lumrah—biasa saja dan bukan apa-apa—karena memang Divya dan Frans yang selalu dibebankan pekerjaan lebih banyak, termasuk beberapa proyek besar.
"Aneh!" cerus Wiwit sambil mensuwir ayamnya.
"Nggak ada yang aneh!" balas Divya tegas, tak mau temannya mencurigai sesuatu. Ia lanjut menyendok nasinya dengan tenang, apalagi sekarang Wiwit sedang terlihat kepedasan karena sambal ijonya level 9 dari 10.
"Tetap aneh menurut gue, Di!" ucap Wiwit dengan mulut berapi-api.
"Coba lo di posisi gue, wajar aja kalau bos bantuin anak buah yang overload gini, kan? Jangan mikir macem-macem." Balas Divya dengan nada tenang, ia tidak mau Wiwit membaca kegelisahannya saat ini.
"Kok kamu nggak ajak Gilang jemput Ibu, Di?" di dalam taksi yang tadinya hening, mendadak ada sebuah pertanyaan yang membuat Divya merasa sedang di tengah-tengah konflik Timur Tengah.
"Nggak, Bu." Divya menajawab tanpa menoleh pada ibunya. Raut wajahnya sudah kusut.
"Dia kapan mau ke rumah, Di?" ibunya masih mencoba mengorek-ngorek tentang Gilang yang dia anggap sebagai calon mantu anak semata wayangnya.
Kepala Divya bagai dipukul palu godam rasanya, ingin pingsan saja daripada harus menjelaskan hubungan dia dan Gilang yang sudah lama berakhir.
"Didi... kamu sama Gilang baik-baik saja, kan? Bapak juga sering tanya sama Ibu. Kapan kamu bawa Gilang ke rumah, katanya." Lanjut Ibu to the point. Jelas terlihat sekali kan bahwa orang tua Divya mau anaknya segera menikah. Di abad ke-21 ini orang tua lebih sering mempertanyaan soal menikah ya?
Divya menelan ludah berkali-kali, getir.
"Bu...," baru satu kata itu saja air mata Divya sudah meleleh. Mendahului kalimatnya.
Ibu menarik anaknya ke dalam pelukan, tanpa perlu susah-susah menjelaskan ibunya sudah paham. Semua cerita baru saja berakhir. Gilang sepertinya tidak bisa mereka harapkan, sang ibu pun sebenarnya kecewa sebab ia sempat berharap Gilang lah orangnya, ternyata bukan. Bukan dia.
Tidak peduli di tengah jalan, di dalam taksi, di lihat bapak sopir yang pakai seragam kerjanya, Divya akhirnya menangis tersedu-sedu. Wajahnya yang pucat sudah dibanjiri air mata.
"Jalan masih panjang, Di. Kalau bukan dia pasti ada yang lebih baik. Gusti Allah itu Maha Mendengar." Jelas ibunya sambil menepuk-nepuk punggung anaknya. Anak semata wayang gagal menikah, ibu juga sedih lho. Tapi ibu berusaha menyembunyikan kesedihannya di depan Divya. "Dulu Ibu nikahnya telat, di atas tiga puluhan baru dapat jodoh dan itu bapakmu. Makanya Ibu itu pengin kamu nikah cepat supaya kalau punya anak pun bisa lebih dari satu."
Divya menarik diri, ia melihat senyum tulus di wajah perempuan ayu yang telah melahirkannya ke dunia.
"Nggak usah sedih."
"Suwun nggih, Bu." Divya kembali memeluk ibunya dengan sangat erat, sepertitidak mau berpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Divya (REPOST 2021)
ChickLit"Sudah lama bersama, kenapa enggak nikah aja?" Itulah yang mengganjal di hati Divya, ia sudah mencoba mengajak kekasihnya bicara se-serius itu, namun belum ada tanda-tanda kesiapan menikah. Kekasihnya belum mau berkomitmen, Divya putus asa. Bagaiman...