Ketika Dia Menghilang

17.2K 1.4K 24
                                    

Hai semua. Met malam sabtu. Met kondangan, eh!

Jempol dulu dong, biar kagak lupa yee
Tapi yang ikhlas ya vote-nya. Kalau kagak nanti keselek kan susyeh. Hehehe

Makasih

....

Terjebak dalam perasaan cinta adalah hal yang paling tidak masuk akal, setidaknya beri aku jeda untuk menyembuhkan luka lama. –Aruna Divya



Tanpa basa-basi, pagi ini Arya sudah menghampiri kubikel Divya dan Frans, lalu menatap kubikel Julia yang masih kosong. "Kalau Julia sudah datang, kalian bertiga ke ruangan saya. Meeting!" Terdengar memerintah, bukan sedang menginformasikan kepada bawahannya.

Divya dan Frans memberi anggukan kecil. Wajah-wajah panik itu saling bertukar pandang.

"Bahasanya nggak santai, cuy." Frans berbisik setelah Arya kembali ke ruang kerjanya.

Divya mengangguk, menelan ludah yang terasa getir. Everything will be okay, Di.

Sejak kejadian Divya kabur dari pantry—tiga harian lalu—Arya memang sedikit berubah, seperti kembali menjelma menjadi manusia superdatar dan dingin. Tidak ada lagi obrolan ringan dengan Frans tentang club bola kesukaan mereka, atau pertandingan bulu tangkis yang masih disiarkan langsung di stasiun TV nasional dan swasta. Frans bahkan curhat kalau kemarin ia bertemu Arya di pantry, sama-sama sedang membuat kopi, tapi tak sempat tercipta tegur sapa sama sekali. Beberapa hari ini obrolan mereka hanya tentang pekerjaan dan urusan dengan klien. Dunia benar-benar sibuk.

Divya ingin menganggap hal ini biasa saja, tapi nyatanya perasaannya seperti sedang diaduk-aduk. Saat dia keluar masuk ruangan Arya untuk menyerahkan report yang sudah selesai ia kerjakan, tatapan Arya tetap bertumpu pada layar komputernya atau berkas di atas meja yang menggunung. Setidaknya Arya yang biasanya adalah Arya yang saat mengucap kata 'terimakasih' atau 'ya' dan pasti selalu mengangkat wajah dari kesibukannya walau hanya tiga detik! Perubahan aneh ini membuat Divya bertanya-tanya.

Apa ini karena aku? Salah diriku?

Sepagi itu Divya sudah gelisah luar biasa. Tak tenang sama sekali. Dia juga tak mampu mengungkapkan pada Frans, ia meyakinkan diri bahwa semua ini hanya asumsinya saja. Ia yang terlalu berlebihan menilai keadaan sehingga berbagai kekhawatiran muncul seketika.

Divya menarik napas, menenangkan diri.

Lima menit kemudian Julia datang dengan wajah lelah luar biasa. Dia baru saja mengejar waktu agar tidak terlambat. Ia datang pukul delapan lewat tiga menit, menyesal luar biasa karena mesti potong gaji walau hanya terlambat tiga menitan saja. Ia terus menggerutu sambil menuju mejanya, kesal.

Frans buru-buru menghampiri kubikel Julia dengan membawa buku agendanya. "Lo buruan, kita ada meeting."

Julia menatap galak. "Lo nggak tahu apa gue baru saja duduk. Napas masih rada-rada sesak." Ia menyeka keringat dengan tisu, cepat-cepat.

"Bos yang nyuruh. Ngeri." Tatapan Frans penuh maksud dan membuat temannya paham.

"Dari kemarin juga gitu bawaannya, kayak mau makan orang!" Julia menimpali santai. Ia butuh waktu beberapa menit untuk menyisir rambut seadanya, thouch-up make up tipis-tipis, minum air putih dari botol yang dibawanya.

"Yuk, meeting." Julia sudah berdiri di antara kubikel Divya dan Frans. "Bertiga aja?" tanyanya sambil menatap dua temannya. Tenaga junior sepertinya sedang dibutuhkan untuk urusan lain.

"Empat sama bos!" balas Frans yang berjalan lebih dulu.

Karena meeting ini mendadak dan hanya dihadiri sedikit orang, Arya terbiasa melakukannya di ruangannya sendiri, tinggal menambah satu kursi lagi yang Frans bawa dari luar. Mereka bertiga berada di seberang meja Arya dengan urutan, Frans, Julia, lalu Divya.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang