Kebetulan Dunia ini Agak Sempit

15.6K 1.2K 2
                                    

Tidak ada yang namanya kebetulan, semua itu sudah Tuhan gariskan. Suka nggak suka, kalau takdirnya ketemu lagi ya sudah! –Divya, tidak bisa menghindar



Setelah bertemu tanpa sengaja dengan Arya di suatu pesta pernikahan, Divya tidak begitu merasa ruangan bosnya seangker dulu. Entah mengapa, ia sendiri sulit menjelaskan. Intinya, Arya sedikit demi sedikit menjadi lebih ramah dari biasanya, walau masih menjelaskan sesuatu tanpa ekspresi. Kabar baik lainnya, Arya jadi sering menegur barisan kubikel di depan ruangannya meski hanya satu kata—seperti, "pagi....", "siang...', atau "istirahat!".

Julia dan Wiwit terkadang bisik-bisik menggosipkan Arya, Frans sering kali ikut-ikutan, sementara Divya tetap memilih untuk tutup mulut kalau dia sudah pernah bertemu bosnya di luar kantor dengan penampilan lebih humble dan sikapnya yang ramah. Bosnya memang agak sulit didefinisikan.

Pukul 11.30 siang, barisan kubikel Julia sudah ramai. Ada gosip terbaru dari artis Korea yang bercerai, padahal seluruh penduduk dunia maya selalu mengagung-agungkan mereka sebagai pasangan terbaik sepanjang masa. Wiwit nampak histeris mendengar berita baru itu, ia nyaris saja menjerit.

"Gila, lo, kalau Bos dengar bisa kena SP!" Frans memelototi dua temannya.

"Santai, Bos tadi keluar jam 10, katanya ada meeting." Julia menjawab santai, masih sambil men-scroll berita yang ia dapat dari sebuah website terpercaya.

Frans manggut-manggut. Lalu ia menoleh kepada Divya yang sedang meng-update kerjaan. "Di, lo akhir-akhir ini santai banget kerjanya? Nggak disalah-salahin Bos lagi memangnya?"

Divya mengalihkan tatapannya dari layar, "revisi? Ya benerin lah, pusing amat!" tukasnya tanpa beban. Seperti lupa kejadian kemarin lalu yang membuat otaknya mumet.

"Iya, maksud gue kenapa lo nggak emosian lagi pas disalah-salahin gitu." Cecar Frans yang mulai curiga. "Gue justru heran kalau lo anteng gini, lo naksir bos kita yeee?" tuduhnya tanpa alasan.

"Oh... lo kangen gue marah-marah kayak biasanya? Terus banting-banting report di atas meja, keluar masuk ruangan bos sambil banting pintu biar sekalian jebol, robek-robek kertas revisian sendiri, gitu?" Divya menatap Frans jutek. "Bos kita enggak sejahat itu kayaknya. Kalau memang salah ya salah, ngapain bener terus disalah-salahin?" tambah Divya tenang, ia kembali menatap layar komputernya. "Btw, lo jangan sebar gosip murahan. Gue nggak naksir Pak Arya. Sori."

"Lho... bukannya elo yang bilang kalau bos baru ini nyebelin? Datar dan dingin?" Frans terdengar heran dengan apa yang baru saja ia dengar.

Divya mengangkat bahu tanpa menatap Frans lagi, tapi ia sempat bilang, "kadang apa yang nampak di luar, belum tentu sama seperti dalamnya. Maksud gue, hati Bos siapa yang tahu?"

"Ampun, Di. Lo jadi aneh!" Frans kembali ke pekerjaannya setelah pusing menebak teman sebelahnya.

Frans sudah fokus, ia tidak peduli kericuhan Julia dan Wiwit tentang gosip terbaru dari negara gingseng, juga tidak ingin memusingkan sikap Divya yang seolah menikmati revisiannya sendiri dan ceria saat dibebankan pekerjaan baru oleh bosnya.



"Oke, aku beli buah dulu." Divya berjalan sambil menerima telepon dari Gilang. Tangan kirinya menjinjing kerangjang belanja biru, tangan kanannya memegang ponsel ke telinga. "Nggak usah jemput, kamu capek, Lang. Aku bisa ke apartemenmu pakai taksi." Jawabnya ketika Gilang memaksa ingin menjemputnya di rumah buah.

"Hati-hati ya, Sayang." Dengan berat hati kekasihnya itu menyetujui permintaan Divya.

"Iya." Ujar Divya sabar.

Klik!

Sambungan terputus, Divya mengantongi ponselnya ke saku celana. Ya, dia baru pulang dari kantor pukul delapan, agak lebih mending dari biasanya.

Ia berjalan mengitari koridor sayur lebih dulu, ingin memasak sup untuk Gilang. Setelah mendapatkan apa yang dia butuhkan, ia pergi ke koridor buah. Apel merah, pisang, kurma dan anggur, membuat bola matanya berbinar-binar. Divya menahan air liurnya saat membayangkan jus pisang dicampur dengan buah kurma lalu ditambah madu, yum-yum...

Baru saja ia meletakkan keranjang di bawah, tangannya segera memilih apel merah hendak di masukkan ke kantung plastik bening. Dua, tiga, empat, cukup. Hanya untuk stok di kulkas Gilang yang mulai kosong. Tinggal satu buah lagi yang belum ia ambil, anggur yang sudah dalam kemasan.

"Segar ya, ini baru bungkus?" tanya seorang ibu-ibu yang wajahnya nampak terawat dan awet muda. Pelayan tokonya mengangguk sambil berkata, "baru keluar gudang, Bu."

Perempuan itu terlihat mengangguk juga. Divya berdiri tepat di sebelahnya, ikut memilih anggur yang begitu menggoda.

"Eh!" kaget Divya, ternyata perempuan itu juga memegang anggur yang sama dengannya. Dengan sigap Divya menarik tangannya, tersenyum manis. "Buat Tante aja."

"Tidak apa-apa, Tante aja yang mengalah. Yang lain masih banyak kok." Perempuan itu balas berkata ramah.

Divya akhirnya mengambil pilihannya, memasukkan ke keranjang yang diletakkan di lantai. Perempuan itu memandangi Divya, dari wajah sampai kaki yang masih mengenakan sepatu kulit hitam dengan hak lima senti.

"Baru pulang kerja, Nak?" tanya perempuan itu dengan wajah ramahnya.

"Iya." Divya jadi tidak enak, ia balik bertanya basa-basi. "Tante juga baru balik dari kantor?" tanyanya setelah mengamati pakaian lawan bicaranya yang amat rapi dan licin.

"Enggak. Saya dari rumah." Senyum mengembang di wajah bersih perempuan paruh baya tersebut.

"Oh, Tante belanja sendiri?" tanya Divya lagi.

Tanpa Divya duga, perempuan itu tersenyum cerah, seperti matahari yang baru muncul dari ufuk timur. "Sama anak, tadi dia ada di sini." Perempuan itu terlihat mencari wajah anaknya. "Nah, itu dia."

Divya turut menoleh, mana mungkin ia kembali sibuk dengan buah-buahan di depannya, tidak sopan kan.

"Divya?" seseorang menyebut nama Divya pelan.

Mendadak lagi, ia bertemu dengan Arya di sini, rumah buah. Divya mengangguk kikuk, "jadi Tante ternyata ibunya Pak Arya ya?" Divya jadi salah tingkah, ia segera menyalami tangan ibunya Arya dengan kaku.

"Saya Divya, Tante. Anak buahnya Pak Arya di kantor." Ia inisiatif memperkenalkan diri sendiri, dan cengiran Divya terlihat aneh. Duh, kenapa bisa-bisanya ketemu lagi?

"Oh... saya Kinanti, ibunya Arya." Perempuan yang bernama Kinanti tersenyum menatap wajah Divya dan Arya bergantian. "Kalian ternyata satu kantor ya." Kinanti tersenyum lagi, lebih cerah. "Kamu sendiri aja, Nak?"

Divya membalas senyum itu. Dua lesung pipitnya menampakkan diri, menambah aksen manis sekaligus menawan. "Iya, Tante."

"Masya Allah..." Kinanti geleng-geleng kepala, tersenyum menatap anaknya.

Arya mendekat pada ibunya, "kenapa, Ma?"

"Enggak, teman kantor kamu cantik." Bisik Kinanti, tapi suara itu masih bisa didengar telinga Divya. Duh, dia makin salah tingkah jadinya.

"Tante, saya permisi dulu, belanjanya sudah selesai." Divya ingin buru-buru kabur dari sana meski ia ingin mengambil satu jenis buah lagi, entah itu melon segar atau semangka merah.

"Oh iya, silakan. Hati-hati ya, Nak Divya."

Divya mengangguk dan tersenyum sopan. Ia tidak berani menatap wajah Arya, tapi ia sempat pamit pada atasannya itu dan Arya turut mengiyakan.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang