Sebuah Alasan

20K 1.6K 70
                                    

Kasih aku alasan kenapa kamu milih aku! –D



"Innalillah..!" Divya segera mematikan kompor gas di depannya. Ia terkena percikan air panas yang mendidih.

"Ya Gusti... kamu nggak apa-apa, Nak?" Kinanti segera mendekat, ia nampak panik. "Dim... ambilkan salep Ibu, tolong. Yang di lemari tengah itu, ini Divya kena air panas." Teriaknya pada Arya yang memang berada di ruang tengah.

"Nggak apa-apa, Tante." Divya meniup-niup punggung tangannya. Arya kemudian sampai dengan membawa salep milik ibunya, ada sebersit rasa khawatir yang merambati batinnya.

"Ini bisa nyeri sampai seharian lho, Nak. Sini Tante bantu olesin salepnya." Kinanti mengambil salep dari tangan Arya, membuka tutupnya dan hendak mengobati luka Divya.

"Mama! Papa telepon, mau ngomong sama Mama sekarang!" panggil Banu yang berada di ruangan lain. Meski nadanya tersengar seperti bercanda, Kinanti percaya saja dengan anaknya itu. Ia meminta maaf pada Divya karena harus segera mengangkat telepon dari suaminya yang memang sedang pergi keluar.

"Dim, bantuin Divya ya!" Kinanti menyerahkan salep itu ke tangan Arya lagi.

Hanya ada hening selanjutnya, menyambung kecanggungan semalam. Arya menekan ujung wadah salep dan bingung, haruskah ia menyentuh tangan Divya?

"Ehm, saya bisa sendiri." Ujar Divya gugup. Ia memilih duduk di kursi, Arya ikut menarik kursi untuk duduk, lalu ia membantu mengoleskan salep tanpa menyentuh tangan Divya yang sudah berada di atas meja.

"Makasih," suara lembut Divya mengagetkan lamunan Arya.

"Sama-sama."

"Saya...," ucap Divya dan Arya bersamaan. Mereka mendadak rikuh dan canggung.

"Saya mau minta maaf untuk yang semalam. Saya tidak bermaksud membuat kamu bingung, Div." Arya mengucapkan kalimat itu dalam sekali tarikan napas.

Entah kenapa, Divya ingin tertawa mendengarnya. Lebih lucu lagi saat ia melihat ekspresi wajah Arya yang terlihat cemas dan gugup, perpaduan yang nyaris tidak pernah terlihat kalau mereka sedang di kantor. Arya yang biasanya terlihat tegas, dingin, dan berwibawa. Jauh dari Arya yang duduk di dekatnya sekarang.

"Iya." Divya pura-pura sibuk meniup-niup tangannya. Dia menahan tawa habis-habisan.

"Tidurmu semalam nyenyak, kan?"

"Iya." Divya mengangguk kecil sambil menyembunyikan wajahnya yang tersipu karena malu. Arya terlihat manis sekali dengan sikapnya yang seperti ini, membuat jantung Divya pun memompa lebih cepat.

Terdengar suara langkah kaki yang cepat menuju dapur, tempat Divya dan Arya sedang duduk bersama.

"Banu ada-ada saja, orang Papa nggak mau ngomong sama Mama!" Kinanti sudah sampai dan melihat dua orang duduk berhadap-hadapan, mereka tersenyum. "Mama kayaknya ganggu ya?" tanyanya sambil memasang wajah bersalah.

"Tuh, kan, Ma... Mama ini nggak asyik sih! Kan Banu bilang jangan ke dapur dulu!" Banu menyalahkan ibunya, selanjutnya mereka berdua tertawa bersama lalu pergi. Sempat terdengar bisik-bisik Banu dan ibunya lagi. "Ma, cieee bakal ada mantu baru di rumah ini!"

"Biar Mama banyak temannya!" jawab Kinanti ringan.

Mendengar itu Divya merasa malu. Duh, pasti pipinya sudah merona merah.

"Tadi kamu mau bikin apa?" tanya Arya memecah kesunyian. Ia berdiri dan melihat panci di meja pantry.

"Teh."

"Airnya masih panas nih. Saya bantu ya?" tanpa menunggu jawaban dari Divya, Arya sudah menyiapkan dua mug untuk membuat teh. "Kamu suka manis nggak, Div?" ia bertanya tanpa menoleh.

Story Of Divya (REPOST 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang