satu

1.7K 187 47
                                    

1

2

3

Remaja 20 tahunan itu sibuk menghitung tumpukan koran-koran yang ada dihadapannya. Sekiranya sudah pas ia pun menggulungnya dengan hati-hati sebelum mengikatkan karet agar gulungannya tidak terbuka kembali.

Jumlah korannya hari ini seperti biasa. Ada 25 gulungan dan setelah semuanya beres ia pun memasukannya ke dalam keranjang di sepedanya.

Jam masih menunjukan pukul 05.30 waktu setempat, tapi dirinya sudah bersiap untuk memulai harinya bahkan sejak 1 jam yang lalu.

"Bu, Lukman berangkat dulu ya." Ujarnya pada seorang wanita berusia 40 tahunan yang sibuk dengan sekeranjang cucian, seraya mencium punggung tangannya dan mengucapkan salam.

Ibunya itupun mengangguk setelah menjawab salam anaknya dan kembali ke aktifitas semula. Pergi mencuci.

Kaki jenjang berkulit putih itu kini sibuk membelah jalanan dengan kendaraan tanpa mesinnya.

Sesekali suaranya berteriak lantang didepan rumah orang sembari melemparkan gulungan koran yang dibawanya.

Membagikan koran pagi pada setiap rumah yang sudah menjadi langganannya. Itulah pekerjaannya. Sesekali ia bertegur sapa pada pemilik rumah yang ia antarkan bacaannya itu.

Dan ia terus melakukan itu hingga gulungan kertas berwarna abu tersebut tak lagi bersisa di keranjang sepedanya.

Setelah ini pulang?

Tidak. Lukman justru kembali ke percetakan untuk mengambil koran lagi. Kali ini tidak perlu sebanyak yang tadi. Cukup 15 buah saja untuk dijajakannya di lampu merah.

Peluh telah membasahi wajahnya yang tampan. Topi hitam yang ia kenakanpun sudah kotor terkena debu jalanan. Tapi senyuman manis itu masih setia bertengger di wajahnya. Selalu ada syukur dalam hatinya setiap kali hembusan nafasnya keluar.

Meskipun lelah, ia pantang menyerah. Semua ini ia lakukan demi ibunya, demi membantu menopang perekonomian keluarganya. Menjadi tulang punggung pengganti pria yang akrab disebut sebagai 'Ayah'.

Nyatanya Lukman sudah mulai mengais rezeki sejak dirinya masih mengenyam bangku SMP di kelas 1. Oh, ralat. Sejak ia masih SD pun Lukman sudah mulai membantu ibunya mencari nafkah dengan berjualan es dan cemilan kecil di sekolahnya. Ia anak yang rajin dan penuh prihatin.

Sang ayah? Entahlah. Lukman tak pernah kenal dengan sosok lelaki tersebut. Sejak ingatannya mulai merekam, yang ia tahu bahwa ia anak tunggal dan yatim dari seorang janda yang tinggal di perkampungan. Tak pernah ada yang namanya Ayah dalam hidupnya.

Dan ia tak pernah mau bertanya tentang itu. Karena terakhir kali ia menanyakan keberadaan sang ayah saat masih duduk di bangku sekolah dasar, sang ibu nampak mengulum bibir, hendak menangis dengan manik berkaca-kaca.

Lukman benci jika dirinya membuat sang ibu sedih ataupun menangis. Ia dengan sebisa dirinya selalu membuat wanita itu tersenyum meskpun ia tahu, dibalik senyumnya ada kesedihan dan guratan lelah yang terlihat jelas.

"Korannya, Pak?" Lagi. Ia menawarkan pada siapa saja yang berhenti kala lampu jalanan itu berubah dari kuning ke merah.

Ada yang membeli, ada juga yang tidak. Seperti biasa dan selalu sama dengan hari-hari sebelumnya.

Diiinn ...

Diiiiinnn ...

Diiiiiiinnn ...

Suara-suara bising dari klakson setiap kendaraan bagaikan musik yang mengiringi kesehariannya. Sangat familiar dalam pikiran serta merta di telinganya.

About My Brother ✔ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang