S2 | dua belas

564 111 29
                                    

03.00 dini hari.

Bergulung dalam selimut dengan mata sembab karena tak ada hentinya menangis. Ia tak dapat tidur bahkan semenitpun tak dapat mencoba untuk tenang.

Rasanya bodoh sekali Bara saat ini. Dulu ia mati-matian menginginkan untuk pergi dari dunia ini karena rasa bersalah yang terus menggerogoti pikirannya.

Namun kini, saat kematian jelas datang dengan mengucapkan kata halo, Bara justu menangis. Manusiawi, karena semua orang pasti takut akan mati. Pun dengan Bara.

Sejujurnya Bara tak takut akan usia. Ia pun pasrah jika Yang Maha Esa harus menutup usianya di waktu yang masih terkatakan sangat dini ini. Mungkin memang seharusnya ia pergi. Toh ia memang menginginkan itu sebelumnya kan?

Hanya saja, kali ini rasanya berbeda. Ia menangis bukan karena menolak kehendak yang akan sebentar lagi menyapanya. Ia menangis karena teringat akan dosanya.

Terutama pada sang adik, Lenno.

Setidaknya ia berharap saat ia menutup mata untuk terakhir kalinya, ketika itu Lenno sudah bisa berjalan normal lagi. Hingga tak ada rasa penyesalan pun hal lainnya.

Bara pasrah. Bara menerima takdirnya. Tapi sebelum waktu itu datang, tolong biarkan seorang Albara Mahesa menuntaskan keinginannya. Yakni melihat keluarganya bahagia agar ia bisa pergi tidur dengan tenang untuk selamanya.

Namun, bisakah ia melakukan hal itu? Bisakah ia dengan waktunya yang cukup singkat ini untuk melakukan semua yang diinginkannya dalam hati?

Membahagiakan kedua orang tuanya. Melihat Lenno kembali berjalan. Menghadiri wisuda si bungsu nanti, pun tak muluk jika ia menginginkan mempersunting Azura terlebih dahulu sebelum tutup usia.

Bisakah?
Bisakah?
Bisakah?

Serentetan pertanyaan dengan berawalan dari kata itu terus bermunculan dalam benak Bara. Hingga tak dirasa ia sudah menangis lebih dari 3 jam lamanya.

Semua nama dalam pikirannya terus berputar dengan sejuta pertanyaan yang menyertai. Bisakah Bara ... pada mereka?

🍁🍁🍁

Tak jauh dengan keadaan anaknya, Rama kini tak juga dapat tidur.

Dalam kamar yang remang dan dibalut selimut hangatnya, pikiran sang pria pun melayang kemana-mana. Namun jelas akan bertitik pusat pada satu nama, yakni Bara.

Kenapa harus Bara yang merasakan ini semua? Tak cukup kah penderitaan yang ia rasakan selama ini? Tak cukup kah 16 tahun dilaluinya dengan kepedihan. Kenapa harus Bara? Kenapa bukan orang lain saja? Kenapa harus anaknya?

Saat ia mulai merasakan apa itu bahagia, saat ia mulai ditenangkan dari segala pemikiran serta rasa bersalahnya sebelum ini, takdir kembali datang dengan belati panjang. Mengoyak hati dan sanubarinya, meluluh lantahkan harapannya serta menghancurkan impiannya seketika.

Begitu kejam. Begitu teganya takdir Tuhan pada remaja muda berkulit pucat itu. Tak dapatkah ia memberikan sedikit saja waktu agar Bara merasakan bahagia?

Anika yang sudah terlelap disebelahnya pun mendadak terjaga. Ia memiringkan tubuhnya menghadap sang suami setelah menghidupkan salah satu lampu tidur disebelah meja nakasnya.

"Mas? Kamu belum tidur?" Tanyanya dengan manik sendu. Rama pun menoleh dan ikut memiringkan tubuh menghadap istrinya.

"Aku gak bisa tidur." Jawabnya pelan.

Anika jelas tahu apa yang tengah dipikirkan oleh pria itu kini. Pun sama halnya dengan yang ada dalam pikirannya. Hingga hembusan napas berat terdengar keluar dari hidung si wanita.

About My Brother ✔ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang