Mungkin memang seharusnya sejak awal Bara membuka hatinya untuk Lukman. Setidaknya menjadikan lelaki yang lebih muda itu sebagai temannya.
Entahlah. Sejak kata-kata Lukman di rumah sakit saat Bara dirawat, perlahan tanpa sadar hati Bara yang keras itu pun melunak. Dan mungkin suatu saat Lukman bisa menghilangkan depresi yang dideritanya selama ini. Ia selalu punya cara untuk mendekatkan diri dengan orang lain.
Seperti saat ini. Di hari libur yang tenang, Anika mendadak meminta anak-anaknya--termasuk Lukman--untuk ke belakang rumah, memanen pohon mangga yang sudah banyak berbuah.
Sebagian sudah menguning. Namun sebagiannya lagi masih terbilang muda. Dan anehnya, Anika malah menitah ketiga pemuda yang tinggal bersamanya itu memetik yang muda dengan alasan untuk dibuat rujakan.
"Ivan gak bisa manjat pohon, Kak." Ujar Ivan saat Bara dengan tega menyuruh si bungsu untuk naik.
"Lo aja, Man!" Kini giliran Lukman yang juga kena perintah. Namun seketika itu juga Lukman menggeleng kuat, menolak mentah-mentah untuk naik ke pohon yang tingginya lebih dari 5 meteran itu.
"Gak mau, Mas. Saya takut ketinggian." Ujarnya.
"Lah? Terus? Masa gue sih?!" Hentak Bara menunjuk dirinya sendiri.
"Ya emang siapa lagi? Gak mungkin nyuruh Bi Uyun yang manjat kan? Mau ditaro kemana entar harga diri kita sebagai lelaki muda pejuang bangsa?!" Urai Ivan membuat kedua cowok yang lebih tua menatapnya dengan mimik aneh namun juga lucu.
"Lo pidato?" Usil Bara.
"Ehehehe ... tapi bener kan?! Emang Kakak gak malu apa dikalahin sama emak-emak cem Bi Uyun?!" Ivan memincing.
"Ck! Nyusahin aja." Bara justru berdecak karena ucapan adiknya itu. Dan mau tidak mau ia juga yang pada akhirnya harus memanjat pohon tersebut.
Ternyata Bara cukup berbakat dalam hal ini. Ia dengan mudahnya memanjat hingga ke puncak dahan tertinggi dari pohon besar itu. Sementara Lukman dibawah nampak bersiaga dengan keranjang yang direngkuhnya.
"MAM, MAU BERAPA BIJI??!" teriak Bara dari atas pohon pada ibunya.
"EMPAT BIJI AJA!!" balas Anika tak kalah kencang.
"Duh, Mama kalo udah teriak ternyata kenceng banget kek toak masjid." Gumam Ivan. Namun tanpa sadar ucapannya barusan terdengar ke telinga si ibu.
"Eh, eh, eh... ngomong apa nih anak Mama barusan?! Hm?! Berani yaa sekarang ngatain Mama begitu?! Hm?!" Erang Anika dengan tatapan membulat tepat di pinggir wajah anaknya, hingga si bungsu pun hanya bisa terkekeh malu dan meminta maaf karena candaannya.
"Yaudah, dari pada kamu cuma diem nungguin Bara sama Lukman metik mangga, mendingan kamu bantuin Mama bikin sambelnya di dapur!"
"Ehhmm... iya deh." Jawab anaknya dengan sedikit malas dan kemudian berjalan mengekori di belakang.
"Nih. Potekin cabe merahnya 5 biji aja. Rawit ijonya 15, terus rawit gedenya 10." Titah Anika sembari meletakan sekeranjang cabai beraneka jenis saat Ivan sudah berdiri di dapur bersamanya.
"Rawit gede tuh yang kek gimana, Ma?!" Ia tidak tahu jenis cabai yang satu itu.
"Ya itu! Yang bulet-bulet, bantet, warnanya merah, kuning, ijo." Jawab wanita itu sementara tangannya sibuk membuka pintu lemari es dan mencari sesuatu di dalamnya.
"Udah kek lampu jalanan aja merah, kuning, ijo. Cabe setan maksud Mama?!"
"Ah? Iya! Cabe setan!"
"... haduh mana sih?! perasaan dimasukin ke kulkas deh." Gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About My Brother ✔ [Banginho]
Genç Kurgu(belum direvisi, masih tulisan newbie) "Tak semua luka dapat diobati oleh waktu. Waktu yang melupakan, namun waktu juga yang mengingatkan." ••••• [Season 1: About Lenno] Lukman Ardiansyah, atau yang biasa dipanggil Lukman hanyalah cowok biasa. hidup...