S2 | satu

956 142 64
                                    

Pulang.

Itulah kata pertamanya untuk hari ini. Kembali kesebuah bangunan yang sudah dihuninya berbulan-bulan lalu namun kini dengan artian yang berbeda.

Pulang. Lenno sudah tak sabar melangkahkan kakinya keluar dari rumah sakit itu--yang sejujurnya untuk Lenno bangunan ini tak jauh berbeda dengan penjara. Sebab ia tidak bisa pergi kemana-mana.

Jam baru menunjukan pukul 10 pagi, tapi ia sudah tidak sabar menunggu. Dan cukup diketahui saja, sejak tadi ia sudah benar-benar gelisah. Ingin rasanya cepat pergi dari sepetak ruangan itu. Ingin rasanya ia menghirup udara di luar sana.

Oh, bahkan lelaki muda tersebut sudah menyusun rencana apa yang akan dilakukannya nanti jika sudah sampai di rumah.

Dimulai dengan ia yang akan mengajak Bara--jika masih mau--memboncengnya dengan sepeda seperti beberapa bulan yang lalu. Atau pergi ke tempat karaoke bersama si bungsu Ivan, menyanyikan lagu dangdut sembari bergoyang tidak jelas dengan wig ikal serta memainkan alat musik--entah apa namanya--di tempat itu.

Dan mungkin ia akan mengajak Anika untuk sekedar berjalan-jalan di taman. Atau lari pagi bersama Rama setiap hari libur. Apapun itu, Lenno benar-benar sudah tidak sabar melakukannya.

Namun sayangnya, setelah perawatan di rumah sakit ini selesai dan ia sudah diperbolehkan pulang pun, Lenno masih belum juga bisa menggerakan kakinya.

Setiap kali ia bertanya kenapa ia merasakan kakinya mati rasa, Anika justru menjawab jika itu adalah efek kejut pada otot saat kecelakaan terjadi.

Tapi mungkinkah demikian? Lenno rasa tidak juga. Ia justru merasa ada alasan lain kenapa ia tak bisa menggerakan bagian bawah tubuhnya itu.

Ceklek!

Pintu perlahan terbuka dan perawat muda yang sebelumnya kembali muncul.

"Halo." Sapanya lembut.

"Halo." Balas Lenno dengan senyuman.

"Maaf Mas, saya diminta dokter buat bantuin Mas lepasin selang infusnya." Ujar perempuan berkulit kuning langsat itu.

"Oh. Oke." Lenno mengangkat tangan kanannya, membiarkan si perawat menyentuhnya dan dengan hati-hati mencabut jarum yang tertanam di atas kulit putih bersihnya.

Entah kenapa, saat itu diam-diam Lenno melihat name tag di seragam sang perawat. Dan membaca dengan jelas jika disana tertulis menggunakan huruf kapital tepat di bawah foto jika nama si perawat adalah: Shavira Widdyar.

"Udah, Mas." Ujarnya membuat Lenno sedikit terhentak.

Pemuda itu mengulum senyuman tipis.

"Kalo gitu, saya permisi dulu. Semoga cepat pulih." Katanya sebelum tubuhnya memutar dan hendak pergi.

"Suster." Tahan Lenno tiba-tiba, membuat wanita itu menoleh.

"Iya?"

"Emm... makasih udah ngerawat saya selama disini." Ujarnya sedikit malu-malu yang dijawab anggukan pelan dan senyuman hangat.

"Itu udah jadi tugas saya, Mas." Ucapnya ramah dan setelahnya tubuh molek bak model majalah itupun pergi.

Cantik. Bisik Lenno dalam hati.

Sejujurnya ini kali pertama ia memuji paras seorang wanita--selain Ratih dan Anika--Lenno tak pernah merasa tertarik sebelumnya dengan mahluk yang digandang-gandang ciptaan Tuhan yang paling indah itu.

Bahkan saat bertemu dengan Maori Azura yang merupakan gadis import--kata Bara--berparas cantik itupun, Lenno tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.

About My Brother ✔ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang