Kriiieeett...
Rama melongokan kepalanya ke dalam sepetak ruangan setelah pintu coklat itu terbuka.
Aroma pepermint menguar seketika ke indra penciumannya. Disana, diatas kasur itu terlihat seonggok daging yang disebut manusia tengah bergelung dengan selimut dan memunggungi pintu. Entah sebenarnya ia sedang tidur atau terjaga, namun sepertinya sosok itu enggan juga bangkit untuk mengawali hari.
"Bara." Panggil Rama pelan.
Tak ada jawaban dari si empunya nama tersebut. Pun tubuhnya tak sedikitpun bergerak hingga membuat yang lebih lelaki dewasa itu melangkah mendekat dan duduk di tepian ranjang.
Dilihatnya ternyara sang anak tidak sedang tidur. Ia hanya diam berbaring sembari menatap keluar balkon yang terbuka dengan pandangan kosong dan hampa.
"Bara." Panggil Rama sekali lagi dan kali ini berhasil membuat manik sendu itu bergerak--melirik ke arahnya. Namun tak juga ada suara yang keluar dari si pemilik panggilan tersebut.
"Udah siang. Kamu belum sarapan."
Masih hening. Namun yang diajak bicara melirik ke arah jam dinding kamarnya. Waktu saat ini sudah menunjukan pukul 13.00 siang. Harusnya ia sudah berada di kampus sejak pagi tadi untuk menghadiri kelasnya, namun jangankan pergi, untuk bangkit dari posisi rebahannya pun Bara enggak bergeser meski hanya seinci.
Matanya sembab, apa dia habis menangis? Batin Rama melihat kedua netra si sulung yang nampak membengkak seperti habis menangis.
"Bara." Sekali lagi ia memanggilnya.
"Lenno mana, Pa?" Akhirnya suaranya keluar, meskipun sangat pelan dan hampir berbisik.
"Lenno sedang pergi sama Mama." Jawab Rama.
"Ivan?"
"Ivan sedang sekolah."
"Kenapa Papa gak kerja?" Suaranya semakin terdengar pelan.
"Ah? Papa sedang malas. Lagi pula, kerjaan Papa udah diurus sama Willy."
Hening. Tak ada lagi suara yang menyahuti ucapan sang ayah. Bara kembali terdiam dengan manik kembali menatap sendu keluar balkon.
"Bar, minggu ini Papa sama Mama ngambil cuti selama 7 hari full. Gimana kalo kita jalan-jalan keluar?"
Saat itulah, Bara menyingkap selimutnya lalu menurunkan kakinya dan duduk di tepian kasur--disebelah Rama.
"Kita yang jalan-jalan, tapi Lenno pake kursi roda sendirian." Gumamnya pelan. Maniknya masih terus mengarah ke semula.
"Bar. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Ini semua bukan salahmu."
"Tapi gara-gara aku mobil itu kecelakaan. Dan gara-gara aku juga Lenno lumpuh." Suaranya memberat.
"Bara. Itu bukan karna kamu."
Si sulung perlahan merundukan kepalanya. Tangannya meremat kepalanya dengan kuat, bahkan rambutnya pun ikut terjambak. Bahunya mulai terlihat berguncang.
"Hiks... aku gak pernah ngelakuin sesuatu dengan benar. Aku selalu ngerusakin semuanya."
"Bara."
"Aku selalu ngebawa bencana buat sekitar. Aku selalu bawa sial buat semuanya."
"Cukup, Bara!"
"Percuma aku lahir kalo cuma buat ngebawa bencana aja."
"... aku capek."Grep!
Seketika itu juga Rama menarik Bara ke dalam pelukannya. Membiarkan tangis itu kembali tumpah di bahunya yang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
About My Brother ✔ [Banginho]
Teen Fiction(belum direvisi, masih tulisan newbie) "Tak semua luka dapat diobati oleh waktu. Waktu yang melupakan, namun waktu juga yang mengingatkan." ••••• [Season 1: About Lenno] Lukman Ardiansyah, atau yang biasa dipanggil Lukman hanyalah cowok biasa. hidup...