empat

930 164 78
                                    

Hari pertama Lukman bekerja cukup sibuk. Selepas mengantarkan Ivan, ia harus kembali ke rumah untuk mengantarkan Rama ke kantor, dan setelah itu ia kembali lagi untuk mengantarkan Anika ke butik miliknya.

Tidak ada yang searah dalam perjalanan menuju tempat tujuan masing-masing membuat Lukman harus berulang kali memutar kemudinya untuk kembali ke tempat penjemputan semula.

Pun dengan sore harinya dimana ia harus kembali menjemput mereka satu persatu untuk pulang ke rumah.

Lelah? Tentu saja.

Tapi Lukman mensyukuri setiap tetes keringat yang ia keluarkan meskipun harinya terbilang cukup berat.

Terlebih semakin terasa jika mengingat ucapan-ucapan pedas dari Bara yang cukup menyeletuk hatinya, namun sebisa mungkin tidak ia hiraukan.

Suatu kejelasan jika Bara memang tidak suka dengan kehadiran Lukman di rumah itu. Padahal jika saja ia mau membuka hati, Lukman bisa menjadi teman yang baik untuknya seperti kepada Ivan. Lukman adalah remaja yang supel dan mudah mengakrabkan diri dengan siapapun.

Ini adalah hari ketujuhnya tinggal di rumah mewah itu. Dan ini juga hari liburnya yang pertama.

Ya. Dalam seminggu, Rama memberikan 1 hari libur untuk Lukman. Sebetulnya anak itu sendiri juga bingung akan melakukan apa jika tidak bekerja. Jadi dihabiskannya untuk sekedar diam di kamar, ikut menonton Tv bersama Bi Uyun di ruangannya sampai duduk di gazebo yang ada di pinggir kolam renang sembari memandangi pantulan cahaya bulan dari permukaan air yang terus bergoyang-goyang.

"Bang Lukman!"

Mendadak Ivan datang mengejutkan Lukman sembari membawa sekotak martabak yang dibelinya dari depan komplek. Membuat yang lebih tua mengusap dadanya karena kaget.

"Bengong aja! Kesambet loh entar!" Cetusnya.

"Mas Ivan seneng banget liat saya kena serangan jantung yaa?!" Gerutu yang lebih tua.

"Ehehe ... maap, Bang. Kirain tau kalo aku dateng. Oh, iya. Mau gak, Bang? Tadi aku beli di depan komplek pas nganter Mama ke mini market."

Ivan menawarkan makanan yang dibawanya dan Lukman menatapnya sebenentar sebelum menggelengkan kepala.

"Loh? Kenapa, Bang? Abang gak doyan martabak yaa?" Teliti remaja manis itu.

"Bukan gitu. Saya suka kok sama martabak. Tapi saya gak bisa makan yang ini." Urai Lukman.

"Lah? Kenawhy?" Ivan memasukan sepotong martabak ke dalam mulutnya sebelum akhirnya dikunyah.

"Saya alergi sama kacang tanah." Jelas yang lebih dewasa membuat anak SMA itu nampak membulatkan matanya dengan mimik terkejut.

"Oowhh.. pawntews. Kiwrawin gawk dowyan." Jawab Ivan dengan mulut penuh martabak membuat lawan biacaranya terkekeh geli.

"Kamu kalo makan jangan sambil ngomong. Nanti keselek."

"Ehehehe... iwya luwpa." Ivan tertawa hingga matanya menyipit dan hanya meninggalkan garisan saja.

Oh, sungguh imutnya remaja itu. Terutama lesung pipinya. Ingin sekali Lukman mencubit pipi gembil yang sedang sibuk mengunyah makanan tersebut. Tapi jelas ia tidak bisa, sebab ia masih sadar diri siapa ia dan siapa Ivan.

Hening menyapa karena tidak ada satupun dari keduanya yang bicara atau sekedar membuka suara.

Cahaya lampu berpendar menerangi seluruh rumah itu. Gemericik air dari pancuran berbentuk ikan mengisi kesunyian malam. Angin berembus pelan menggoyangkan anak-anak surai keduanya. Begitu tenang dan damai.

About My Brother ✔ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang