Malam merebak membawa kegelapan serta merta bersamanya, menggantikan sang surya dengan sang rembulan serta beberapa bintang kecil yang nampak saling berbicara dengan kerlipan indahnya.
Namun dibawah indahnya langit malam, seorang pemuda tengah duduk murung di sebuah terminal dengan ransel besar bergelayut di bahu pun sebuah kardus yang ia letakan disisi kakinya.
Wajah itu nampak menyiratkan kelelahan serta kebingungan yang begitu jelas.
Entah sudah berapa kendaraan umum beroda empat yang berhenti di hadapannya seraya menunggu apakah anak itu akan ikut menumpang dan menuju ke tempat lain atau tidak.
Namun jelas nyatanya tidak ada satupun yang kedatangan angkutan itu disambut olehnya.
Ia justru semakin merunduk dengan jutaan pemikiran yang terus berakar dalam benaknya.
Akan kemana kah kakinya kini melangkah? Nyatanya ia sudah tak punya lagi arah dan tujuan. Hilang, lenyap ditelan bumi begitu saja setelah 2 minggu yang lalu.
Setelah sang ibu, satu-satunya keluarga yang ia punya berpulang ke pangkuan Sang Pencipta karena penyakit yang dideritanya.
Tak cukup dengan itu, kenyataan lain menampar wajahnya dengan begitu kejam. Menyadarkan jika ia harus hengkang dari rumah yang ia naungi selama ini setelah disegel bank karena tak bisa membayar hutang-hutang meniang sang ibu.
Lukman putus asa. Ia bingung harus kemana. Ia tidak punya sanak saudara dan juga tidak punya tempat untuk sekedar berlindung dari terik matahari dan derasnya air hujan.
Mencari rumah sewa atau sekedar kostan? Ya, jika ia punya uang tentu saja Lukman takan menunggu lama untuk melakukannya. Tapi nyatanya saat ini yang ia punya tidak lebih dari 35ribu di saku celana.
Dan tidak ada apapun yang bisa ia jadikan uang saat ini. Sekedar ponsel pun ia tidak punya sama sekali.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Haruskah ia bermalam di halte itu dan menunggu pagi datang? Lalu memangnya setelah pagi datang ia akan melakukan apa? Tentunya tidak ada yang bisa dilakukannya selain duduk dan menunggu sang takdir yang akan menyapanya lebih dulu.
Takdir baik kah? Atau sebaliknya? Entahlah. Lukman hanya bisa berharap semogat tidak ada yang lebih buruk dari ini.
Mendadak sebuah mobil hitam mewah berhenti di halte itu kala si pemuda tengah sibuk melamun dengan menopang dangunya menggunakan sebelah tangan.
"Nak?"
Panggilan itu seketika menghentak dirinya, membuyarkan lamunan serta membawanya kembali ke dunia nyata yang sempat ia tinggalkan selama beberapa menit terakhir.
Kepalanya mendongak, melihat sesosok lelaki berjas hitam penuh wibawa tengah menatap wajahnya dengan intens.
"Iya?" Tanya Lukman dengan alis bertautan.
Bukannya menjawab lelaki itu justru mendudukan diri disebelah si pemuda dengan seulas senyuman di wajahnyal yang nampak meneduhkan untuk ditatap.
"Kamu yang waktu itu kan?" Tanya si pria.
"Ha?" Nampaknya Lukman belum mengerti apa yang lelaki itu ucapkan.
"Yang tempo hari menemukan dompet saya dan mengembalikannya."
Ucapannya seketika mengembalikan ingatan Lukman tentang sosok pria beberapa minggu lalu yang memberinya uang 100 ribu sebagai imbalan, namun ia justru menolaknya.
Dan kini pria itu kembali hadir di hadapannya tanpa diduga-duga.
"Oh? Bapak yang waktu itu ya?" Ia malah balik bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About My Brother ✔ [Banginho]
Roman pour Adolescents(belum direvisi, masih tulisan newbie) "Tak semua luka dapat diobati oleh waktu. Waktu yang melupakan, namun waktu juga yang mengingatkan." ••••• [Season 1: About Lenno] Lukman Ardiansyah, atau yang biasa dipanggil Lukman hanyalah cowok biasa. hidup...