S2 | delapan

657 111 56
                                    

Ah, mungkin Anika benar. Jadwal mereka semakin padat. Ia dengan kesibukan pada butiknya, Rama pada pekerjaannya di kantor, Bara yang sudah mulai aktif kuliah dan si kecil Ivan yang harus mempersiapkan ujian nasional untuk kelulusannya nanti.

Semua sibuk. Dan tak ada yang bisa menemani Lenno meskipun anak itu selalu bilang ia bisa melakukannya sendirian.

Hingga disuatu pagi, saat tidak ada satupun orang di rumah karena semua sudah pada tempatnya masing-masing, serta si asisten rumah tangga mereka yang kini tengah pergi berbelanja di pasar, Lenno pun mulai meraksakan kejenuhan.

Dengan memberanikan dirinya, pria muda itu pergi keluar rumah sendirian. Tujuannya hanya ke mini market yang berada di depan komplek, beberapa blok dari rumahnya.

Dan perlahan ia pun mulai menggerakan kursi rodanya di trotoar jalan, melewati belasan rumah dibawah mentari pagi yang kaya akan sinarnya. Hembusan angin sejuk menggoyangkan surai hitam.

Berapa banyak orang berlalu lalang yang melihat ke arahnya? Entahlah. Cukup banyak dengan pandangan yang beragam. Dari mulai tatapan memuja karena visualnya yang indah dan rupawan hingga tatapan kasihan karena melihatnya kondisinya yang tak sempurna.

Tapi tak ada satupun yang Lenno pedulikan dari semua itu. Ia dengan segenap keteguhan hatinya terus menyusuri jalan hingga tiba di tempat tujuannya.

Oh, sungguh lucu. Apakah ini takdir atau yang lainnya? Karena saat cowok manis itu hendak membuka pintu, mendadak maniknya bersitatap dengan seorang gadis yang ia kenali.

"Eh? Lenno?"

"Loh? Vira?"

Dan keduanya pun bertegur sapa sesaat sebelum masuk bersamaan ke dalam tempat perbelanjaan itu.

"Kamu sendirian?" Tanya Shavira.

"He-em. Kamu juga?"

Pertanyaannya itupun diangguki oleh si gadis, dan senyumannya yang cerah bak sinar mentari pagi.

"Ada yang kamu mau perluin?" Giliran Shavira yang bertanya.

"Ah? Enggak. Aku cuma iseng mau beli makanan aja." Jawab lawah bicaranya membuat kepala bersurai hitam panjang itu mengangguk pelan.

Agak sedikit pangling melihat Shavira yang kini memakai pakaian rumahan, bukan seragam perawatnya seperti biasa. Terlihat berbeda. Lebih santai dan lebih .... cantik? Oh, ya tentu saja. Ia bagaikan maha karya patung berbahan porselain yang berkilauan.

Kulit kuning langsatnya terlihat bersih nan halus dipadu dengan tubuh bak model yang tinggi bertungkai jenjang. Netra hitam dengan tatapan fokus, bibir tipis nan ranum, alis yang tegas, serta hidung yang bangir. Indah. Kata itulah yang akan disematkan orang-orang bila melihat fisiknya.

Pun dengan Lenno.

"Hellooo... kok bengong?" Tangan berjari lentik itu mengayun rendah di depan wajah si cowok, membuyarkan lamunannya.

"Eh? Kenapa?" Dan Lenno gelagapan sendiri.

"Kamu kok bengong? Ada yang dipikirin?"

"Ah? Enggak kok. Aku cuma bingung milih yang rasa apa. Coklat apa strawberry." Jawab si cowok sekenanya berpura-pura memilih roti yang kini dihadapannya.

"Ooh." Koor Shavira.

"Aku baru liat kamu disini. Apa kamu orang baru?" Lenno penasaran.

"Emm... bisa dibilang gitu. Aku baru pindah sebulan yang lalu di komplek ini."
"... kamu sendiri? Aku baru tau kalo kamu tinggal di daerah ini juga."

"Rumahku 3 blok dari sini. Deket kok, tapi baru sekarang aja keluar sendirian karna gak ada orang di rumah yang bisa nganter."
"... lagi juga Mama gak ngizinin aku pergi sendirian."

About My Brother ✔ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang