nine🍫 ㅡpengakuan

1.3K 103 10
                                    

"Kelihatan nggak, kalau gue suka sama lo?"

Refa menelan bulat-bulat rendang besar yang rencananya mau dikunyah dulu tadi. Ia menatap Reva bingung.

"Lo suka banget ngerjain gue, ya, Va?"

Reva tidak menjawab pertanyaan Refa barusan, dan terus menatap mata Refa. Refa yang salah tingkah kemudian mengalihkan pandangannya kepada jam dinding berwarna putih yang tergantung di atas kamar mandi.

Sepuluh detik keheningan itu terasa seperti sepuluh jam bagi Refa. Tidak bisa dipungkiri bahwa jantung Refa berdetak kencang tidak karuan atas pengakuan Reva tadi, walau setengah hatinya juga masih yakin kalau Reva cuma main-main, mengerjai dirinya seperti biasa.

Refa kemudian berdehem, memecah keheningan antara mereka berdua.

Satu detik kemudian, terdengar suara tawa yang lumayan keras dari Reva.

Refa hanya diam menatap Reva yang tertawa sampai bola matanya hilang jadi berbentuk bulan sabit itu. Benar dugaannya, pasti Reva cuma main-main.

"Aduh," ujar Reva setelah meredakan tawanya. Ia menyeka sedikit air mata yang keluar dari matanya. "Sorry. Tapi lo kok langsung tahu gitu, sih, kalo gue bercanda."

Refa mendengus kesal. Ia sungguh tidak tahu sikap apa yang harus ia tunjukkan saat ini. Otaknya bilang kalau ia harusnya merasa senang dan lega karena Reva cuma bercanda, dan memperkecil kemungkinan hubungan persahabatan mereka harus renggang karena rasa suka. Namun hatinya mengatakan bahwa ia semestinya merasa kesal karena Reva sudah main-main dengan perasaan orang.

Kalau mau jujur, iya, kalau mau jujur banget, saat Reva nembak Refa tadi, Refa sudah bertanya kepada dirinya sendiri apakah ia pagi ini shalat tahajud sampai dapat berkah melimpah macam itu?

"Ref?" panggil Reva saat sadar cowok itu diam saja. "Lo marah, ya, sama gue?"

"Hah?" ujar Refa, tersadar dari lamunannya. "Kenapa harus marah?"

"Ya, habisnya lo diem aja."

"Soalnya, gue bingung."

"Aduh, sori ya, lo kaget banget ya?" tanya Reva.

Refa menaikkan kedua bahunya. "Biasa aja, tuh?"

Reva memeletkan lidahnya sekilas. "Kok mukanya linglung banget?"

"Ya, coba aja lo jadi gue."

"Refaaaa," panggil Reva, lebih seperti merajuk. Ia memegang lengan kanan Refa dengan kedua tangannya. "Gue minta maaaaffff."

Refa mendengus. "Gue kan enggak kesel?"

"Tapi, lo kelihatan kesel!"

"Enggak, nih gue ketawa," ucap Refa, kemudian tertawa kecil.

Reva melepaskan pegangannya dari lengan Refa. "Halah, itu mah dipaksain."

Refa tertawa lagi. "Beneran, Va. Gue kaget aja tadi."

Reva menghembuskan napasnya ringan, kemudian kembali menyuapkan rendang. "Iya tau, orang sampe diem-dieman gitu."

"Ya gue mikir aja, kita kan sahabatan, nanti canggung kalo ada yang saling suka," balas Refa.

"Oooh, kita sahabatan ya?" tanya Reva, suaranya agak tidak jelas karena sedang mengunyah.

"Iya, kali?" kata Refa. "Kan udah ada grup squad-nya, tuh, di LINE, yang bertujuh."

Reva tertawa kecil. "Emang kalau udah bikin grup LINE, itu artinya udah sahabatan?"

"Yah, waktu di SMA sih begitu."

Reva & Refa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang