twenty three🍿 ㅡbertemu

1K 78 23
                                    

Suasana di depan ruang Unit Gawat Darurat tersebut masih hening. Hanya suara rintik-rintik hujan yang terdengar. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing, hati mereka belum sepenuhnya tenang karena Reva belum juga sadar.

"Dia....makan seberapa banyak kerang, sih?" tanya Chandra frustasi, "Tau gini, gue enggak pesen."

"Karena lo pesen, kita jadi tahu kalau dia ada alergi kerang, Chan," ucap Rizki.

"Kok dia enggak dipindahin ke ruang rawat biasa, ya?" tanya Meita, "Padahal kata dokter tadi udah bisa ditanganin."

"Mungkin harus nunggu sadar dulu?" Dimas balik bertanya.

Gerimis di luar kini berubah menjadi hujan lebat. Suhu udara menjadi semakin dingin.

Rizki menyingkap lengan kaos Refa, dan meringis melihat sebuah lebam di sana, "Ini kenapa? Kayaknya daritadi belum ada."

Refa ikut melihat lengan kanannya sendiri, matanya membulat karena terkejut. Ia menatap Rizki, matanya berbicara bahwa ia juga tidak tahu muncul karena apa lebam itu.

"Mungkin tadi kepentok?" tanya Dimas, "Tapi enggak sadar."

"Oh, ya," ucap Refa setelah mengingat-ingat, "Pas lari ke parkiran tadi sempet nabrak tiang."

Sontak semua tertawa, suasana kini menjadi hangat kembali.

"Kapan? Kok gue enggak lihat? Gue kan di belakang lo terus, tadi," ujar Meita.

Refa mengangkat bahu, "Pas belokan keluar restoran. Mungkin lo belom nyusul gue? Ah, enggak tahu. Tadi panik banget, udah enggak peduli sekitar."

"Iya ih, sampe kita hampir salah masuk mobil Grab tadi," timpal Nindy, melirik Chandra dan Dimas.

Chandra menahan tawanya, "Bodoh banget. Udah naik, tuh, udah satu menit lah kita jalan. Mas-masnya nanyain, 'Ini Mas Zulfan liburan atau gimana di sini?' lah bingung, kita enggak ada yang namanya Zulfan."

Dimas tertawa, "Abis itu langsung minta balik ke sana, ternyata Si Zulfan itu udah nungguin, sama Grab kita yang beneran. "

Refa akhirnya ikut tertawa, "Terus dimarahin dong sama Zulfan-Zulfan itu?"

Nindy menggeleng, "Enggak. Kita minta maaf, terus dia senyum-senyum aja, 'Enggak apa-apa, Mbak, Mas!', gitu katanya."

"Udah aku bilang, kan. Kalo naik tuh, plat mobilnya dilihat dulu," kata Dimas, kemudian memukul bahu kanan Chandra.

Chandra mengusap-usap bahunya, kemudian balik memukul lengan Dimas, "Kalian juga kenapa ikutan naik?"

"Udah panik banget, Chan. Mana mendung banget," balas Nindy.

"Gue nyetir enggak bisa konsentrasi. Di samping, Refa gemeteran. Di belakang, Meita nangis-nangis, Reva juga," ungkap Rizki, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, "Rasanya gue mau nangis juga."

"Ya maaf, gue kan panik," ujar Meita.

"Tadi gue sempet salah ngomong, harusnya belok kiri, malah belok kanan," ucap Refa, "Si Rizki langsung banting setir, diklaksonin sama yang belakang."

Nindy menatap Rizki tidak percaya, "Iya, Ki?"

Rizki mengangguk, "Udah kayak di drama-drama."

Tawa mereka pudar saat mendengar pintu dibuka. Seorang perawat keluar dari ruangan UGD itu.

"Mbak Revanya sudah sadar, dan sudah bisa untuk dikunjungi," ujar perawat tersebut, diiringi dengan napas lega enam orang tersebut, "Nanti kalau Mbak Reva sudah kuat jalan, boleh langsung pulang."

Reva & Refa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang