Reva memandangi seluruh penjuru kamarnya, kemudian menghela napas berat. Akhirnya tiba, hari di mana ia akan berangkat menuju Korea Selatan untuk menempuh pendidikan selanjutnya. Baju-baju dan barang lain sudah dimasukkan ke koper, dimana dengan skill packing-nya yang sudah terlatih tersebut bisa membuat barang sebanyak itu masuk ke dalam satu koper besar.
"Dadah, kamar. Sampai ketemu dua tahun lagi."
Reva mematikan lampu kamarnya, memakai tas selempangnya, kemudian menggeret kopernya keluar. Perasaannya sama seperti waktu ia pertama kali meninggalkan kamar ini saat ingin berangkat ke Malang. Kali ini lebih berat rasanya karena tujuannya lebih jauh, dan ia mungkin tidak bisa pulang sesering dulu karena masalah biaya.
Reva menutup pintu kamarnya, kemudian terdiam sebentar. Ia menoleh saat merasakan ada yang memegang pundaknya.
"Udah mau turun?" tanya Refa.
Reva tersenyum, kemudian mengangguk, "Iya, ayo turun sekarang."
Refa menggeret koper milik Reva, dan dengan langkah hati-hati membawanya menuruni tangga. Di lantai bawah, terlihat orang tua Reva, serta kakaknya, sedang menunggu.
Prang!
Semua terlonjak saat mendengar sesuatu yang pecah dari arah dapur. Reva menggigit bibirnya, dan memejamkan mata. Ia lupa bahwa sahabat-sahabatnya yang ambyar itu kini juga sedang berada di rumahnya.
"Kenapa, tuh?" tanya Adi, papanya Reva, ia kemudian berteriak agar suaranya terdengar sampai dapur, "Kenapa? Ada yang luka?"
Kirana, mamanya Reva, segera berlari menuju dapur. Adi akhirnya menyusul, sementara Reva, Refa, dan Lintang masih terdiam di sana.
"Ngapain lagi bocah-bocah itu?" tanya Refa pelan.
Lintang menggeleng, "Entahlah. Ayo kita liat."
Di dapur, di sisi kanan, terlihat Chandra, Dimas, Rizki, Meita, dan Nindy mengitari pecahan beling ㅡmungkin cangkir, sementara di sisi lainnya, Kirana dan Adi sedang memandangi pecahan cangkir itu.
"Jangan mendekat ya, nanti kakinya kena," ujar Kirana, kemudian bersiap mengambil serokan yang ada di pojok dapur.
"Saya aja yang bersihin, Tante," cegah Meita.
"Saya ajaaaa," kata Chandra.
"Saya aja, deh," ucap Dimas.
"Kayaknya saya aja," timpal Nindy.
"Saya," ujar Rizki singkat.
Refa mendengus, "Mending kalian semua aja."
Chandra mengangkat telunjuknya, kemudian menunjuk Refa, "Ide yang bagus."
Meita bergegas mengambil serokan, kemudian yang lain berjongkok untuk mengambil pecahan cangkir.
Kirana meringis, "Jangan dekat-dekat, lho, nanti kena kaki."
"Ini kenapa bisa pecah?" tanya Lintang akhirnya. Ia ikut berjongkok dan menaruh pecahan cangkir ke serokan.
Refa dan Reva ikut membantu. Reva mengamati pecahan cangkir tersebut. Kalau pecahannya sebanyak ini, yang jatuh bukan hanya satu cangkir. Mungkin dua atau tiga.
"Tadi kita kan mau ngambil teh," ujar Chandra, memulai ceritanya, "Terus, ngapain sih kita tadi?"
Rizki berdecak kesal, kemudian melanjutkan cerita Chandra, "Bercandaan gitu pokoknya, Kak. Cangkirnya ditaro di meja situ, tuh. Di pinggir. Kedorong, jatoh, deh. Tiga cangkir."
Refa berbalik, menatap dua cangkir lainnya yang masih selamat, bertengger di pinggir meja makan. Mungkin kalau dirinya mundur sedikir dan menyenggolnya, dua cangkir itu juga akan jatuh, bonusnya mengenai kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reva & Refa [COMPLETED]
Romance"Kenapa lo manggil gue Va? Orang lain biasanya manggil gue Rev," tanya Reva. "Soalnya gue juga dipanggil Ref. Aneh aja, kayak manggil diri sendiri," jawab Refa. "Tapi kan gue pake V, lo pake F. Beda, lah." Refa menatap Reva selama lima detik, kemudi...