"Va," panggil Refa. "Kacamata gue ketinggalan."
"Kacamata? Di mana?"
"Di perpus."
"Ya ampun," ujar Reva, panik. "Gimana? Mau balik?"
"Ga usah. Kita kan lagi makan."
"Nanti kacamata lo ilang, gimana? Emang lo ada kacamata lain?"
Refa terdiam. "Hm...enggak ada, sih."
"Ya udah. Ayo balik aja," balas Reva.
"Nanti aja, makan dulu. Masa kita udah pesen gak dimakan? Lagian bentar lagi Maghrib, Va. Jalanan pasti macet," ucap Refa panjang lebar. "Kita makan dulu aja, abis itu sholat, baru balik ke perpus."
"Oke. Tapi kemungkinan kalo kita baru ke sana abis Maghrib, kacamata lo udah gak ada, Ref," kata Reva. "Emang tadi lo tinggal di mana?"
"Di meja kita. Gue taruh doang tapi gak dipake."
Reva berusaha mengingat kejadian sekitar satu setengah jam lalu itu. Ia memang melihat kotak kacamata diletakkan di meja tadi, namun tidak kunjung dipakai sampai mereka pulang. Dan sialnya, baik Reva, Refa, maupun Nindy tidak ada yang sadar kalau kacamata beserta kotaknya itu ketinggalan.
"Lagian kenapa lo ngeluarin kacamata tapi gak dipake sih, Ref?" Tanya Reva, lanjut menyuwir ayam, karena ia lihat Refa juga sudah mulai makan.
"Gak tahu. Mata gue minus, tapi gue males pake kacamata ke mana-mana. Jadinya, gue cuma pake kalo lagi belajar di kelas doang, atau kalo butuh buat ngeliat jauh," jelas Refa. "Gue kira tadi bakal butuh buat gambar, tapi gue males pakenya. Lo liat kan, gue nunduk-nunduk terus pas gambar?"
Reva tertawa kecil. "Iya. Jarak mata lo sama kertas karton tadi deket banget. Emang lo minus berapa, sih?"
Refa mengangkat telapak tangan kirinya, dan membentuk angka dua dengan jari telunjuk dan tengah.
"Hah? Itu kan lumayan gede? Terus lo gak merasa buta gitu jalan kemana-mana gak pake kacamata?"
"Ya iya, sih. Tapi, hidung gue gatel aja gitu kalo pake kacamata terus."
Reva hanya mengangguk. "Ya udah, buruan makan, Ref. Nanti kacamata lo digondol orang."
Setelah selesai makan, Refa dan Reva sholat maghrib di masjid terdekat. Iya, Reva gak mau sholat di musholla Ayam Nelongso soalnya di sana kecil banget.
"Va," panggil Refa, menghampiri Reva yang sudah menunggu di parkiran motor masjid. "Kalo lo mau pulang, gak apa-apa, gue anterin dulu."
"Siapa yang bilang mau pulang?"
"Err, enggak ada, sih."
"Lah, ya udah," balas Reva. "Ayo, buruan ke perpus."
Refa melajukan motornya menuju parkiran perpustakaan pusat. Betapa takjubnya mereka melihat pemandangan malam hari UB itu. Tulisan besar Universitas Brawijaya menyala warna biru terang, dan lampu kecil-kecil yang ada di pohon juga menyala, warna biru yang sama dengan tulisan besar tadi.
"Wah...gue gak tahu kalo di UB malem-malem kayak gini, Ref," ujar Reva.
"Sama. Gue juga gak pernah ke UB malem-malem, soalnya."
"Pantesan UKT-nya mahal, ya. Dipake buat ginian," celetuk Reva, sembari turun dari motor Refa. "Gak apa-apa, deh, yang penting cakep."
Refa tertawa. "Apaan sih, Va."
"Tadi kita duduk di mana, ya?"
"Di sana," tunjuk Refa. "Gue inget banget lo ngeliatin air mancur mulu dari tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reva & Refa [COMPLETED]
Romansa"Kenapa lo manggil gue Va? Orang lain biasanya manggil gue Rev," tanya Reva. "Soalnya gue juga dipanggil Ref. Aneh aja, kayak manggil diri sendiri," jawab Refa. "Tapi kan gue pake V, lo pake F. Beda, lah." Refa menatap Reva selama lima detik, kemudi...