Akhir Dari Sebuah Cerita Pt. 1

17 0 0
                                    

Menulis adalah tempatku lari. Tempatku menumpahkan semua hal yang terjadi di dunia nyata. Tempatnya berkata jujur se-jujur jujurnya. Tempatku menjadi diriku sendiri, seorang pria yang diam-diam mempunyai hati lebih banyak daripada akal. Tempatku menjadi seorang pencinta sesungguhnya. Tempatku menyimpan semua rasa sedih, senang, kecewa, bangga dalam perjalanan romansaku, dan aku harap--Bismillah--ini adalah akhir dari sebuah cerita panjang, "Diary Seorang Jomblo" yang sudah ku tulis sejak aku duduk di bangku SMP.

Waktu terus berjalan, umurku pun terus bertambah, dan kisah hidupku semakin rumit. Aku masih ingat dan terkadang tertawa kecil mengingat betapa bodohnya masa kecilku menulis tentang cewek yang diam-diam aku suka, lalu ternyata aku ditolak. Berpindah platform dari note facebook ke blogger ke wordpress dan kemudian wattpad. Dulu aku sering menulis dengan, "gue" sekarang berganti dengan, "aku". Dulu aku berharap mempunyai pacar, sekarang aku berharap dan berdoa untuk memiliki pasangan hidup, seorang istri. Now i'm a little bit older, and a little bit wiser.

Aku merasa di umur 24 tahun ini aku sudah cukup merasakan pahit-manisnya kehidupan romansa. Di satu titik bahkan aku pernah bertanya, "sebenernya Allah ini punya rencana apa sama aku? Apa Dia tidak bisa melihat aku sudah sesakit ini. Aku lelah seperti ini, aku lihat banyak cowok-cowok bajingan diluar sana yang bisa dengan mudah berpindah satu ke lainnya seperti batu loncatan, sedangkan aku?". Disitu aku marah, disitu aku kecewa dan disitu aku sedih. Ketika aku melihat di cermin, yang aku lihat hanyalah sesosok pria yang kesepian, tiap hubungan yang ia jalani tak lebih dari sekadar, "pelajaran". Sedangkan ketika aku menoleh, aku melihat teman-temanku bertunangan, menikah. Aku ingin menyudahi semua kesedihan ini, aku sudah siap Ya Allah. Meskipun aku belum siap, buat aku siap Ya Allah, kuatkan aku, siapkan aku untuk menjadi seorang suami yang tidak hanya mampu menafkahi istriku kelak, namun mampu menjadi kepala keluarga yang bisa diandalkan

"Insyallah akhir tahun depan aku keluar kerja mas. Umur 25 tahun aku pengennya sudah nikah"
Aku terdiam. Tanganku yang memegang touchpad laptop sontak berubah kaku. Perlahan aku menatap matanya dalam-dalam.
"Kenapa mas? Emang gak boleh aku pengen nikah?" jawabnya sambil tertawa malu.
"Boleh. Aku juga pengen nikah kok mbak"
"Banyak mas yang ngajakin nikah tapi banyak yang aku tolak. Ada yang temen kampusku bilang mau ke rumah mau ngelamar, yakali aku lagi pusing ini dan itu yaudah aku tolak deh"

Aku sedikit geram, tentu cemburu itu datang. Cepat-cepat aku hilangkan, semua rasa cinta aku tidak bebankan ke dia. Aku bebankan ini semua ke Yang Maha Esa. Karena memang betul yang membuat kita kecewa bukanlah subjekmu, tapi dirimu sendiri. Taruh hatimu bukan padanya, tapi pada Yang Maha Esa, yang maha tahu segalanya.

"Terus? Orang-orang yang ngelamar mbak ini kenal banget sama kamu?"
"Ada yang temen SMA suka sejak jaman les, sama temen kampus sejak semester 3 mas"

Goblok, pertanyaan tolol yang harusnya tidak aku tanyakan, tuhkan luka lagi hatinya, goblok sih.

"Terus ada yang mas-mas bengkel yang modusin aku..."
"Iya aku udah tau, kamu udah cerita kapan lalu."
"Udah tau kan, untungnya sekarang udah ngejauh sih mas orangnya."
Tanganku masih terus bermain dengan touchpad, mendesain label skincare buatannya.
"Terus kamu mau aku kaya gitu juga mbak? Ngejauh dari kamu?"
"Kan mas sendiri yang bilang kan? Biarin urusan hati  jadi urusanku sama Allah, toh yang nanggung kan aku sendiri. Jadi harusnya mas tahu apa yang mas harus ngapain, kan?"

Iya betul, aku pernah mengungkapkan perasaanku padanya, dan...

"Aku gak mau mas berharap lebih ke aku. Karena memang bukan mas yang ada di doaku selama ini. Aku gak mau ngecewain orang lagi"
"Tapi apakah itu membuatku tidak boleh menyebut namamu di tiap doaku mbak? Biarlah urusan hati ini menjadi urusanku dengan Allah, aku gak naruh harapan ke kamu mbak, aku naruh harapanku langsung kepada Dia yang membuat perasaan cinta ini, Allah. Soal iya dan tidak, nanti Allah yang menjawab".

Lalu muncullah pertanyaan ini, "Kalo mas yang dateng ke rumahmu duluan gimana mbak?"

Diam. Untuk sekian detik kami terdiam, waktu terasa terhenti. Perlahan aku menatapnya dalam-dalam.

"Emang mas mau ngapain? Mau ngelamar aku?" Jawabnya sambil tertawa mengejek dan ada warna merah tipis di pipinya.

"Eh maksudnya apa itu? Kamu ngejek aku? Oh, kamu nantang?" 

Lalu kami tertawa, dan waktu kembali berjalan normal. Dan malam itu telah merubah caraku melihat cinta, caraku melihat cara menjadi seorang pria.

Akhir Dari Sebuah Cerita Pt. 2 bisa kalian lihat di chapter selanjutnya.

Diary Seorang JombloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang