Akhir Dari Sebuah Cerita Pt. 1 bisa kalian lihat di chapter Sebelumnya.
Percaya tidak percaya, setelah aku menyudahi hubunganku dengan dia yang di Jerman, kembali ke masa lalu bukanlah sebuah pilihan utamaku. Bahwa jujur--seandainya kamu nanti suatu saat membaca ini, semoga kamu tidak marah--aku dekat dengan cewek lain juga. Temanku SMP yang sekarang tinggal di Bekasi. Seorang womenpreneur yang juga menjadi karyawan di satu bank. Lucunya, kami sempat berjanji untuk menonton film, "Dua Garis Biru" bersama bahkan aku berniat untuk berangkat ke Bekasi hanya untuk nonton bersama dia. Aku nyaman, dia anak yang baik, dia wanita karir yang sukses, namun aku tidak menemukan klopku disitu. Anggap aku orang aneh, tapi aku percaya bahwa cinta itu terbentuk, sama seperti kamu tidak bisa memaksakan cintamu padanya, tapi aku percaya bahwa cinta kita akan dirasakan oleh orang yang kita cintai. Dibalas atau tidak, biarkan itu menjadi misteri. Dan ketika aku mencoba untuk melepas perasaan ini darinya, tiba-tiba rasa itu muncul lagi.
Dan setelah malam itu, aku merubah bagaimana aku melihat sebuah rasa cinta. Dulu aku tidak percaya dengan yang namanya, "Ta'ruf". Bagaimana kita bisa klop sedangkan kita tidak pernah bertemu, bercakap, bercengkrama berdua, dan lalu muncullah cinta? Dan ternyata aku sekarang sadar, bahwa cinta datang dalam banyak bentuk. Dan yang sekarang aku rasakan adalah cinta sesungguhnya. Ini adalah pertama kalinya aku mencintai seseorang namun aku sangat mencintainya dan sangat biasa saja di waktu yang sama. Tidak, ini tidak membuatku dilema, karena aku hanya punya 1 goal di akhir cerita ini. Jika memang aku mencintainya harusnya aku menikahi dia, dan InsyaAllah, aku menyiapkan mental, hati, dan segalanya untuk menikahi dia.
"Emang mas mau ngapain? Mau ngelamar aku?"
Sebut aku kepedean, tapi untuk pertama kali dalam hidupku, aku benar-benar merasa yakin. Aku yakin bahwa malam ini, satu kalimat itu, 2 pertanyaan itu adalah lampu kuning untukku. Ingat, lampu kuning, bukan lampu hijau. Itu kenapa aku masih banyak sekali pertimbangan agar untuk tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Karena menikah tidak sesimpel menyatukan dua hati, tapi juga 2 keluarga, 2 masalah pribadi, 2 kepribadian, 2 karakter, 2 manusia yang berbeda dalam satu ikatan sakral, pernikahan. Dan untuk pertama kalinya orang tua-ku tidak meremehkan keseriusanku dalam sebuah hubungan. Jadi dulu-dulu orang tuaku selalu menganggap keseriusanku hanyalah sebatas impian anak remaja dengan cinta monyetnya. "Menikah" adalah hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan. Tapi kali ini tidak, ayah dan ibu bersedia untuk menemaniku melamarnya kelak jika waktu yang tepat datang. Iya, aku menganggap ini adalah tanda dari Allah. Selama ini aku mengemis sebuah hubungan serius, lalu tiba-tiba Allah seperti menantangku, apakah beban sebesar ini kamu berani tanggung? Sanggupkah aku?
Semua terasa begitu cepat. Aku sendiri juga merasa kenapa semua tiba-tiba datang menghampiriku. Tentu aku masih belum siap, namun ini bisa jadi traffic light yang mungkin tidak akan berubah menjadi kuning lagi. Ini adalah kesempatan, siap atau tidak siap, aku harus segera menyiapkan diriku. Karena menjadi suami bukan hanya status di KTP, buku nikah dan cincin di jari manis. Menjadi suami adalah pekerjaan seumur hidup. Dosa keluarga kecilmu adalah tanggung jawab seorang suami. Menjaga harga diri, martabat seorang istri juga lah pekerjaan untuk suami. Apakah berat? Untuk orang yang tiba-tiba mendapat lampu kuning sepertiku, ini memang berat."Gak onok wong lanang sing siap Mat gawe nikah. Tapi nek ngenteni siap, kapan siap'e? Gak onok ukurane. Kudu siap gak siap, kudu isok siap"
Begitulah kata bossku di kantor. Gak ada laki-laki yang siap untuk menikah, semua pasti menunggu waktu yang tepat, nunggu siap. Tapi kapan siap itu akan datang? Gak ada tolak ukurnya. Siap atau tidak siap, kita harus siap. Tentu karena laki-laki berpikir dengan akal. Simply, "aku pengen sukses sebelum menikah". Padahal, di Islam menikah adalah membuka pintu rejeki. Tentu menikah tidak serta merta membuatmu jadi milyarder, tapi menurutku dulu waktu single doanya cuma 1--1 orang, 1 keluarga--sedangkan ketika sudah menikah, yang mendoakan ada 2--2 orang, suami dan istri. Dan 2 keluarga, keluargamu, keluarga istrimu--let's say ini probabilitas, tapi aku sekarang mengerti apa arti menikah membuka pintu rejeki.
Jadi untuk apa aku menulis Akhir Dari Sebuah Cerita bahkan menjadi 2 part? Ini bisa jadi ucapan selamat tinggalku untuk Diary Seorang Jomblo. Tempatku menulis sejak SMP, menuliskan semua naik dan turun kehidupan romansaku selama masih single. Dan dengan tulisan ini, aku meminta doa kalian semua untuk melancarkan urusanku, urusan cintaku dengannya. Karena untuk satu kali ini, aku berharap semua berjalan dengan baik, karena ketika aku bilang mencintainya aku tidak pernah melihat fisiknya, karakternya, atau apapun itu. Aku melihat dia begitu klop diawal kita bertemu dulu, dan ketika aku mencoba mencabut perasaan itu, perasaan cinta itu masih mau menetap padahal aku tidak mendapat feedback apapun dari dia. Dan dengan begitu cinta yang ada dihatiku semua kuserahkan kepadaNya, kepada Dzat yang memberi perasaan cinta ini, Allah. Aku mencintainya karena Ibadah, bukan lagi status pacaran. Aku menikahinya karena Ibadah, bukan sebagai status di KTP atau buku nikah. Aku memulai perjalanan baru, dengan aku yang baru, dengan goalku tentang cinta yang baru. Aku masih tidak tahu apa rencana Allah, yang pasti selama aku datang niat yang baik, semoga rencana Allah selalu menjadi yang terbaik.
Amin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Seorang Jomblo
Storie d'amoreDiary Seorang Jomblo adalah sebuah kumpulan cerita pendek yang berdasarkan kehidupan romansa pribadi si penulis (saya). Semua yang tertulis adalah apa yang terjadi kepada saya di dunia nyata. Diary Seorang Jomblo akan penuh rasa sedih, senang, dan b...