Bagian 19

543 19 7
                                    

Entah apa yang terjadi, namun kini Salma sudah duduk manis di belakang Egi. Menyusuri jalan dengan hati yang hangat meski angin sudah berusaha meredakan panasnya. Sama seperti terakhir kali, Egi meminta Salma untuk melingkarkan tangannya di tubuhnya.

"Sal?" Tanya Egi tiba-tiba.

"Hmm?"

"Menurutmu, senja itu meninggalkan sore yang telah menunggunya, atau malam telah merebutnya?"

Salma berpikir sejenak sebelum bersuara kembali.

"Malam itu tidak pernah merebut, senja memang harus pulang pada malam. Tidak peduli sudah berapa lama sore menunggu. Begitupun dengan manusia. Manusia biasanya meninggalkan manusia lainnya yang sudah menunggu demi bersama manusia lain yang belum tentu menunggunya.  Tanpa tau bagaimana rasanya menunggu, tanpa tau bagaimana rasanya bahagia meski hanya menjadi tempat persinggahan". Jelas Salma membuat Egi diam.

Benar. Memang seperti itu semesta memperlakukan apapun yang ada di dalamnya.

Egi tidak menyangka Salma bisa berpikir sejauh itu. Bahkan dirinya baru saja tersadar bahwa senja dengan manuisa itu sama saja. Sama-sama senang menyakiti.

Jika bertanya perihal siapa yang salah, mungkin keduanya salah. Salah karena tidak pernah mencoba untuk sadar diri dengan apa yang telah dilakukannya. Menunggu itu sebenarnya tidak salah. Yang salah adalah kepada siapa kita menunggu. Dan meninggalkan juga tidak salah. Karena, jika kita bertahan pada hati yang tidak pernah kita beri hati itu terlihat jahat. Dari situlah kita memandang bahwa keduanya salah.

"Eh ko diem? Ada yang salah?" Tanya Salma ragu karena Egi tiba-tiba diam setelah Salma memberi jawaban pada pertanyaan Egi.

"Eh? Engga ko gaada yang salah. Saya hanya kagum dengan apa yang kamu katakan. Maksudnya, kamu bisa berpikir sejauh itu tentang senja membuat saya sadar bahwa begitu cara bermain semesta pada kita"

"Pada, kita?" Tanya Salma tidak mengerti.

"Maksudnya, kita yang sama-sama ikut serta dengan permainan semesta."

"Ohh, iyaa iyaa" jawab Salma meskipun dirinya masih belum terlalu mengerti.

Namun tiba-tiba saja Egi mengubah membelokan vespanya membuat Salma kebingunan karena berbeda dengan arah menuju rumahnya.

"Eh eh bukan lewat sini Egi" ucap Salma cepat karena mungkin Egi lupa arah jalan menuju rumahnya.

"Saya tau ko, Sal" jawab Egi tenang.

"Terus kenapa kamu lewat sini?"

Meskipun begitu, tetap saja Salma merasa senang karena dengan begitu mungkin Salma memiliki tambahan waktu bersama Egi. Setelah tiga bulan tidak bertemu, lalu untuk pertama kalinya lagi bertemu langsung menghabiskan waktu bersama dengan hitungan waktu yang terbilang lama, siapa yang tidak senang?.

Manusia lain mungkin menyebutnya dengan, menghilangkan rindu.

"Karena kita harus makan, Salma Amanda"

Karena melamun, Salma tidak sadar bahwa mereka telah sampai di salah satu kedai yang terlihat menyediakan makanan kesukaan Salma.

"Kenapa harus kesini?" Tanya Salma.

"Karena yang saya tau, kamu menyukai makanan yang ada disini, bukan?"

Salma hanya mengangguk menandakan bahwa Egi benar.

Ingin sekali rasanya Salma menangis saat ini. Bukan karena Egi telah membuatnya terlambat pulang kerumah. Melainkan karena Egi mengetahui tentang apa yang ada pada dirinya.

Suara lonceng yang disimpan di atas pintu berbunyi menandakan ada seseorang yang telah memasuki kedai tersebut. Beberapa pelayan memandang Egi dengan Salma kagum. Karena jika dilihat, keduanya cocok.

Postur tubuh Egi yang tinggi membuat Salma hanya sejajar dengan dada bidangnya dan membuat Salma kesulitan saat berbicara dengannya karena Salma harus mendongkak untuk menatap Egi seraya berbicara. Menyulitkan bukan?

"Kamu sering ke sini?" Tanya Salma saat setelah baru saja mereka menduduki meja yang berada di pojok dekat dengan jendela yang menghadapkan ke jalanan yang mulai kosong.

"Kenapa memangnya?" Egi balik bertanya.

"Aneh aja sama tatapan pelayan yang ada di sini"

"Iya, saya sering kesini. Tapi biasanya saya sendiri, sekarang saya bawa bidadari, jadi wajar aja tatapan mereka kaya gitu" jelas Egi.

Salma melongo.

"Yang kamu bawa itu manusia bernama Salma, bukan bidadari" ucap Salma asal dengan nada yang dibuat senetral mungkin.

"Siapa yang bilang?"

"Akulah, barusan"

"Siapa yang bilang kalo kamu bidadarinya, Salma?"

Deg.

Salma malu parah.

Egi hanya datang bersamanya. Jadi wajar bukan jika Salma beranggapan bahwa Egi membahas dirinya?

Wajar bukan?

Salma malu sampai tidak tau harus menjawab pertanyaan Egi dengan jawaban apa. Yang bisa Salma lakukan hanya menunduk menggigit bibir bawahnya dengan sekuat tenaga.

Tapi Egi, sedang menahan tawa sekarang. Menahan diri untuk tidak mencubit pipi menggemaskan milik putri yang sedang menunduk di depannya itu seperti sore hari tadi saat di depan kelasnya.

Seperti Salma, Egi juga mencoba untuk bersikap senetral mungkin.

"Eh, Sal. Kamu bawa kaca ngga?"

Salma mengangguk.

"Boleh saya pinjam sebentar?"

Salma mengangkat kepalanya untuk menatap Egi dengan pertanyaan yang hanya mampu dia tanyakan dalam hati.

Untuk apa?

"Pinjam dulu, deh"

Salma mengeluarkan kacanya dalam tas yang sedaritadi dia simpan di pinggirnya, dan memberikan kaca itu pada Egi yang tatapannya tidak lepas dari Salma.

Salma menunduk lagi.

Egi menyelipkan sesuatu di dalam kacanya. Lalu memberikannya kembali kepada Salma.

"Coba deh diliat dulu"

Salma makin bingung dibuatnya. Namun dia tetap menurut apa yang Egi suruh.

Dengan perlahan, Salma membuka tutup kacanya dan semakin dibuat kaget oleh ulah Egi kali ini.

Disana, dikaca itu, terselip foto Salma sedang memainkan gitar di atas panggung tadi. Saat dia dan teman-temannya menampilkan penampilan perdananya.

"Ko bisa?" Tanya Salma pada akhirnya.

"Itu yang saya maksud bidadari, Salma Amanda"

Damn!.

Merah lah wajah Salma untuk yang kesekian kalinya di hari ini dengan pencipta perona wajah yang sama.

Yaitu, Egi Mahesa.




*****
Huhu, akhirnya bisa update lagi. Telat banget kan?. Iya emang:(.
Maaf banget buat kalian yang nunggu:(.
Makasihh banyak buat semua yang udah menyempatkan waktunya untuk membaca ceritaku ini yang tidak seberapa.
Huhu pokonya makasih banyak yaaa🖤🖤🖤

Filosofi SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang