Bagian 3

942 58 4
                                    

Pelajaran terakhir itu sangat membosankan jika kita tidak mengerti apa yang sedang di pelajari. Begitupun dengan Salma. Salma sama sekali tidak mengerti apa yang Bu Winda terangkan di papan tulis. Pikirannya membolak-balikkan kejadian saat istirahat kedua tadi. Pandangannya yang tidak mungkin salah jika hatinya terasa sedikit perih seperti ini. Melihat bagaimana Egi menerima makanan dari perempuan yang entah siapa itu. Bagaimana senyumnya seorang Egi Mahesa terhadap lawan bicaranya. Bagaimana suara lantangnya berteriak berterima kasih lalu tersenyum ketika melihat perempuan itu membalasnya dengan tersenyum.

Ahh lelah rasanya menjadi pihak yang mencintai.

Tangannya membalikan buku, lalu menarik nafas sebelum tangannya lihai menuliskan isi hatinya pada kertas tak berdosa yang menjadi pilihannya berkeluh kesah.

Dengan siapapun kamu berhadapan,
Pada siapapun matamu memandang,
Senyummu tetap sama
Tak berubah.
Dan,
Perih ku pun tidak berubah,
Sakitku masih sama
Tidak punya alasan untuk merasakan itu
Membuat patahku semakin nyata.
Aku lelah.
Lelah menjadi pihak yang mencintai.
Lelah menjadi pihak yang mengagumi
Meski dalam diam, meski tak bersua
Namun, semua rasa tampak nyata.

Salma menutup bukunya dengan cepat, kemudian menenggelamkan wajahnya diatas meja dengan topangan tangan. Dinding yang berada di depannya sekarang, membuatnya merasa sedang bercermin. Dinding dengan dirinya itu sama saja. Sama-sama senang memperhatikan, sama-sama diam menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa untuk bergerak sedikit saja dia tak mampu. Namun untuk berdiri dan perlahan melupakan mungkin menjadi pilihannya sekarang. Tanpa dia sadari, ada yang luruh dari sudut matanya, hangat menjelajar dari wajahnya. Bahunya bergetar pelan, kemudian bergetar semakin hebat.

Eliana yang melihat bagaimana perilaku Salma saat ini, mencolek bahu Riana. Riana menoleh dengan mengangkat sebelah alisnya, isyarat bahwa dia bertanya 'ada apa?'. Kemudian Citra berbalik, melihat Eliana menggerakkan dagunya. Mereka mengerti, kemudian mengarahkan pandangannya pada bahu Salma yang bergetar begitu hebat. Suara isakkannya terdengar. Namun ketiganya hanya mampu mengusap puncak kepala Salma merasakan bagaimana terlukanya gadis itu. Meskipun mereka tidak tahu apa penyebab gadis itu bergetar seperti ini.

Jam pelajaran sudah berakhir sejak 20 menit yang lalu. Namun posisi Salma masih sama seperti setengah jam yang lalu.

"Salma, udah dong, jangan nangis terus. Mending kamu cerita deh sama kita, jangan di Pendem sendiri kaya gini" ucap Eliana lembut dan tetap mengelus rambut Salma.

Salma tersadar. Dia benar-benar baru sadar bahwa dia masih berada di kelas. Kemudian Salma membuka matanya, lalu di pejamkan lagi. Dia menarik nafas pelan-pelan, lalu mulai duduk tegak.

Kaget.

Itu yang Salma rasa setelah melihat kondisi kelas yang sudah kosong. Hanya tersisa Riana, Citra, dan Eliana. Salma kemudian tersenyum.

"Aduhh maaf yaa, aku ketiduran tadi" ucap Salma.

Bohong. Jelas itu bohong. Semua orang tahu bahwa beberapa saat yang lalu bahu gadis itu bergetar begitu hebat. Namun, seakan tidak ingin mengecewakan ke'pura-pura kuatan' dari Salma, mereka bertiga memeluk Salma.

Salma mengerti, dia tidak berhasil membohongi sahabatnya. Namun, Salma merasa lebih baik jika mereka begini. Memeluk Salma tanpa bertanya ada apa, tanpa tahu kenapa, tetapi seolah merasakan apa yang dia rasakan. Itu sudah lebih dari sekedar cukup bagi Salma.

Salma menarik diri dari pelukan sahabatnya, karna dia sudah merasa tenang sekarang. Mereka semua tersenyum, membuat Salma mau tak mau untuk ikut senyum juga. Kali ini, senyumnya setengah tertawa.

"Eh ini, Sal. Kain batik buat nanti di Lembang. Kamu harus gambar pola batiknya sebelum pergi, kata Bu Winda polanya harus penuh dari ujung sampe ujung" Eliana menyodorkan sebuah kain putih bersih berukuran persegi panjang pada Salma.

"Makasih banyak yaa kalian, ai luv yu deh" ucap Salma tulus diikuti oleh cengiran yang membuat sahabatnya itu tertawa.

Kemudian mereka berjalan keluar gerbang, jemputan Riana, Citra dan Eliana sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu. Salma melihat ketiganya pergi sambil melambaikan tangannya pada Salma. Salma membalasnya seraya tersenyum. Lalu dia menarik nafas, kemudian melangkahkan kakinya keluar gerbang.

Namun, suara motor Vespa yang dia hafal itu milik Egi, terdengar dari belakang. Langkah Salma terhenti, suara motornya terdengar semakin dekat.

Dekat

Dekat

Dan melewatinya begitu saja. Seolah menganggap bahwa keberadaan Salma itu tidak ada. Hatinya sakit. Sakit sekali. Dirinya saja merasa kehadiran Egi meski tanpa melihat dengan matanya. Namun, Egi yang jelas-jelas pasti melihat Salma dari belakang, tidak berniat menyapa. Ah, jangankan menyapa, untuk sekedar menoleh saja rasanya itu hal yang mustahil.

'Ini waktunya, Sal. Lupakan dia yang tidak pernah menganggap kamu ada' batin Salma menguatkan dirinya sendiri.

Kemudian dia langkahkan lagi kakinya, meninggalkan tempat yang semesta ciptakan untuk membuatnya bertemu dengan seorang Egi Mahesa yang memiliki mata seperti bulan sabit dan senyum yang menghangatkan. Sudah dia putuskan untuk berhenti mengagumi sosok yang sudah membuat dunianya terasa seperti nano-nano selama tujuh bulan terakhir. Perasaan yang semakin hari semakin terasa nyata pada objek yang hanya sebuah ilusi semata, lukanya ia tumpahkan pada semesta lewat langkah kaki yang membawanya pulang.




*****
Heyooo!
Selamat membaca, kembali.
Tolong tinggalkan jejakmu disini.
Belajarlah untuk seperti dia, meninggalkan dengan berbagai jejak yang kau sebut sebagai luka.
Namun disini, lukamu akan lebih ku hargai.
Terimakasih.

Filosofi SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang