Bagian 14

423 26 0
                                    

Aku berhenti berharap untuk apa saja yang membahagiakan. Mungkin, aku ingin berharap untuk lebih memahami segala sisi yang ada pada dirimu. Meski beberapa fakta akan menyakitiku tanpa ampun, aku akan tetap mencoba untuk memahami.

*****

Salma sudah berdiri di depan cermin pagi sekali. Menatap dirinya dengan wajah berseri-seri. Membayangkan bagaimana bahagianya dia saat bertemu dengan sosok yang sudah mengantarnya kemarin. Salma menyisir rambutnya dengan jari tangannya, kemudian tersenyum sekilas pada cermin. Setelah dirasa cukup percaya diri untuk hari ini, Salma keluar dengan langkah yang ringan.

"Ibu..." Salma memanggil ibu tirinya.

Iya, Salma memang sudah terpisah dengan ibu kandungnya sejak kecil. Dan Salma tinggal dengan ayahnya hingga ayahnya menikah lagi pada saat Salma duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Meskipun mengalami masa canggung selama beberapa tahun, tetapi hubungannya dengan ibu tirinya semakin membaik setelah ibu tirinya melahirkan anak dari ayahnya.

"Gausah teriak-teriak, Sal" suara ibunya terdengar dari belakang Salma.

Salma menyodorkan tangannya "Salma mau berangkat sekarang ya, Bu" pamit Salma.

"Makan dulu, Sal" pinta ibunya sambil meletakan piring di atas meja makan.

"Di bekel aja ya, Bu? Salma pengen cepet-cepet sekolah" ucap Salma cengengesan.

Ibu Salma menggoda Salma dengan mendaratkan colekan di pinggang Salma "Tumben nih ada apa"

"Ibu apaan sih"

Kemudian keduanya tertawa.

Beginilah kira-kira kedekatan keduanya setelah lama sekali merasa canggung. Dulu, jangankan untuk bercanda seperti itu, untuk sekedar menatap wajah dan saling senyum saja terlalu susah untuk dilakukan oleh keduanya.

Salma meminum susu yang sudah disediakan oleh ibunya serta memperhatikan bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Ibunya tersenyum dan memberikan Salma kotak makan yang sudah diisi dengan makanan untuk bekal Salma di sekolah.

"Salma pergi dulu ya, Bu" pamit Salma seraya mencium punggung tangan ibunya.

"Hati-hati ya, Sal"

Tidak seperti langkah Salma yang ringan, Egi justru merasa berat untuk melangkahkan kakinya menuju sekolah. Hingga pada akhirnya, dia hanya mampu memperhatikan Vespanya yang sedang terparkir di depan rumahnya. Ada kebahagiaan yang terpancar dari tatapan matanya pada Vespanya. Ada juga keraguan yang begitu hebat pada diri Egi saat ini. Namun dia tetap berharap semoga apa yang menjadi keputusannya kemarin bisa membuat Salma aman dan bahagia.

Egi bangkit kemudian berjalan menuju Vespanya. Menyalakan mesin motor klasik itu. Setelah dirasa cukup untuk sekedar memanaskan motornya, Egi menaiki Vespanya dan meninggalkan halaman rumahnya.

Pintu gerbang di tutup satu detik setelah Egi berhasil memasuki sekolahnya. Dia memperkirakan Vespanya di tempat dimana dia dan teman-temannya berkumpul. Meskipun suara bel sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, namun teman-temannya Egi masih tetap pada markasnya.

"Woi si Vina nyariin Lo tuh"
Teriak Rafa saat melihat Egi menghampiri dirinya dan teman-temannya.

"Bodoamat, Raf" balas Egi tak peduli.

"Eh beneran woi. Dia titip pesan ke gue, katanya awas Lo lupa sama janji Lo" ucapan Rafa mengingatkan Egi tentang Salma.

Egi tidak meneruskan perbincangan mereka. Yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya dia menjauhkan diri dari Salma tanpa menyakiti gadis itu.

"Gue cabut duluan" ucap Egi seraya berdiri meninggalkan tempat itu.

"Mau kemana sih lo, Gi?" Tanya Raka.

"Ada urusan dulu sebentar" jawab Egi.

"Sejak kapan Lo punya urusan?"

"Sejak gue jatuh cinta"

Teman-temannya yang lain meledek Egi dengan cibiran yang biasa terdengar di telinga seorang Egi Mahesa. Egi hanya membalasnya dengan senyuman tipis dan tetap melanjutkan langkahnya memasuki lobby sekolah.

Langkah Egi refleks terhenti saat melihat punggung seseorang yang tidak ingin dia buat sakit di hatinya. Iya, Egi melihat Salma. Ada rasa bahagia saat melihat Salma baik-baik saja. Setidaknya, sebelum dia menyakiti hati gadis yang berdiri membelakangi dirinya.

"Egiiii..."
Suara itu.
Suara yang perlahan akan menjauhkan Egi dan Salma.
Suara yang membuat Egi memilih keputusan yang belum tau baik atau tidak untuk keduanya.
Suara yang akan menyakiti hati ketiganya.
Dan, suara itu pula yang membuat Salma menatap Egi saat ini.

Oh tidak, jangan sekarang. Gue belum siap  ya tuhan.
Batin Egi berbisik.

Tatapan Egi dan Salma bertemu.
Salma menarik bibirnya menciptakan bulan sabit di wajahnya membuat matanya sedikit menyipit.
Egi masih enggan untuk memalingkan tatapannya dari Salma. Otaknya masih merekam setiap manis yang di suguhkan oleh Salma saat dia tersenyum. Hingga saat sebuah tangan asing menggenggam tangannya, senyuman yang dilihatnya memudar. Ada raut kecewa yang terlihat dari matanya.

Satu detik
Dua detik
Tiga detik

Kemudian hilang.

Bukan. Bukan tatapan kecewanya yang hilang. Melainkan sosok perempuan yang sedari tadi Egi tatap. Salma memilih untuk tidak melanjutkan melihat apa yang akan menyakitinya hari ini. Dia tidak ingin melihat kedekatan keduanya untuk keduakalinya.

Salma memilih duduk di tempatnya dan berusaha keras untuk tidak terlalu memikirkan apa yang baru saja di lihat olehnya. Tapi, semakin dia mencoba untuk tidak memikirkan, semakin jelas ingatannya saat bagaimana reaksi Egi ketika tangannya di genggam oleh orang lain. Meski tatapan Egi tertuju padanya, namun tetap saja yang menggenggam tangan Egi saat itu bukanlah dirinya.

"Maafin saya ya"

Seketika, Salma teringat dengan kata maaf Egi yang kemarin dia lontarkan padanya.

Apa benar dia meminta maaf untuk kejadian seperti ini?
Apa dia minta maaf karena dia berpacaran dengan Vina?
Tidak mungkin.
Jika memang apa yang dibicarakan keduanya kemarin adalah soal pacaran, tidak mungkin Egi kemarin mengantarnya pulang.
Batinnya kembali bersuara.

Salma tersadar dari lamunannya, tangannya bergerak mencari sesuatu di dalam tasnya. Dia mengeluarkan buku yang akan menjadi pelampiasannya saat ini. Kemudian membalikkan buku tersebut ke halaman paling belakang. Lalu mulai menuliskan isi hatinya.

Maafkan aku juga.
Aku pernah merasa bahagia denganmu,
Aku pernah merasa aman denganmu,
Aku pernah memikirkanmu,
Aku pernah berharap tentang apa saja yang membahagiakan aku dan kamu.
Maafkan aku juga.
Jika aku tau apa yang akan terjadi hari ini, aku tidak akan bersemangat untuk bertemu denganmu disini.
Aku benar-benar minta maaf.





*****
Heyo!.
Monmaap nih aku baru muncul lagi ehe.
Lagi sibuk-sibuknya sih sekarang tuh ya:(.
Tapi, sesibuk apapun kalian baca ceritaku dan cerita yang lain, jangan lupa vote ya.
Aku meminta jejakmu.
Terimakasih.

Filosofi SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang