Rafa berlari menuju apartemen Dea. Dea telah membuatnya pusing beberapa hari. Dea menghilang tanpa jejak, ponselnya tidak aktif, bahkan apartemennya kosong. Rafa sungguh khawatir. Dea baru saja menghubunginya, mengatakan ia memerlukan kehadirannya.
Rafa menatap Dea berada di depan Tv, menoleh kearahnya. Dea tersenyum menatapnya, matanya sendu. Rafa pernah menatap Dea seperti itu, ketika ia ditinggal kedua orang tuanya pergi perjalan bisnis. Berbulan-bulan hanya tinggal bersama pengasuhnya.
Rafa melangkah mendekat, lalu memeluk tubuh Dea.
"Kamu kenapa".
"Tidak ada apa-apa".
"Tidak ada apa-apa, kalau kamu tidak cerita sama A'a".
Dea melepas pelukkanya, ia lalu kembali duduk di sofa.
"Kamu kemana saja kemarin. A'a sampai pusing loh cariin kamu".
"Dea, ke Bali, ada urusan disana".
"Urusan apa?".
"biasa kerjaan" dusta Dea.
Rafa tahu, Dea tidak berkata jujur kepadanya. Terlihat cara ia menjawab, tidak menatap wajahnya. Rafa tidak bertanya lagi. Ia menggenggam tangan lembut Dea.
"Ayo, kita menikah".
Dea mengerutkan dahi, menatap Rafa. "Menikah?".
"Iya kita menikah, kamu tidak mau menikah dengan A'a" tanya Rafa.
"Apa tidak terlalu cepat?".
Rafa tertawa, ia kembali menatap Dea. "A'a, sudah mengenal kamu dari kecil Dea, apa itu bisa dikatakan terlalu cepat".
Dea berdiri, menjauh kini ia menatap jendela. Rafa mengikuti langkah Dea, lalu memeluk tubuh Dea dari belakang. Mencurukkan wajahnya di leher Dea.
"Kita menikah saja" ucap Rafa lagi.
Dea menarik nafas, "menikah tidak sesederhana itu A'a, menikah itu sakral".
"Maka dari itu, A'a ingin menikahi kamu. A'a menyayangi kamu Dea"
Dea memutar tubuhnya, menatap Rafa. Tidak ada keraguan di mata pria dihadapannya ini. Dea perlu meyakinkan hatinya, hati tidak bisa bohongi. Ia tidak ingin menyesal kedepannya.
"Dea perlu waktu, untuk memikirkannya".
Rafa mengerutkan dahi, "Memikirkan apa lagi Dea".
Dea kembali menatap Rafa, "Dea tidak bisa masak loh A'".
Rafa tertawa, "apakah memasak salah satu syarat untuk menikah?".
"Sepertinya begitu".
"Bagi A'a tidak, selama masih ada asisten rumah tangga dan tempat makan masih banyak. Memasak bukan alasan yang tepat, kamu hanya perlu merawat saya dan kita tinggal bersama".
Dea menatap iris mata Rafa, pria itu sungguh kesungguhan "Ya, baiklah" Dea pasrah. Ia kembali menatap Rafa di sampingnya.
Rafa tersenyum bahagia, ia lalu memeluk tubuh ramping Dea. "A'a bahagia, terima kasih sudah menerima lamaran A'a".
"Iya, sama-sama. A'a bisa kan temenin Dea ke acara tunangan teman Dea?".
Rafa melonggarkan pelukkannya, "tentu saja sayang".
"Terima kasih".
"A'a ingin secepatnya ingin bertemu orang tua kamu" bisik Rafa.
"Iya".
********
Sakit memang, melihat pria yang ia cintai kini bersanding dengan wanita yang bukan dirinya. Seharusnya dirinyalah yang berada disana. Ana terlihat menawan dengan kebaya berwarna putih, Ana sangat cantik, pantas saja Raka memilihnya. Raut bahagia terlihat di keduanya. Pasangan itu memamerkan cincin pertunangannya di depan kamera. Raka sangat tampan, dengan balutan tuxedo hitam dan dasi kupu-kupu itu.
Dea mengeratkan genggamannya, ketika sepasang mata Raka membalas tatapannya. Dea memcoba mengalihkan tatapannya. Dea mencoba tenang, hingga ia duduk disamping Rafa.
"Kamu mau makan sesuatu" tanya Rafa.
"Iya, Dea minum saja".
"Itu teman kamu, kalau tidak salah yang bertemu di mall itu kan" Ucap Rafa.
"Iya, A'a".
Rafa menyesap minumannya, lalu diletakkanya kembali, "A'a pikir dulu dia pacar kamu, syukurlah kalau dia sudah bertunangan, A'a tidak perlu khawatir lagi".
Dea kembali diam, ia tidak menanggapi ucapan Raka. Karena ia tidak perlu membahas tentang Raka lebih lanjut.
"A'a pikir dia saingan terberat A'a".
"Kenapa A'a berpikiran seperti itu?" Tanya Dea.
Rafa menarik nafas, ia kembali menatap kekasihnya, "entahlah, A'a cuma merasa kalian bukan dari sekedar teman biasa".
"Nyatanya dia sudah bertunangan dengan kekasihnya, tidak ada yang perlu di khawatirkan" gumam Dea.
Rafa tersenyum, ia mengelus rambut Dea. "Ya sepertinya begitu, kita tidak tahu hati seseorang seperti apa. Kita hanya bisa menerka-nerka. Tidak perlu di khawatirkan, mereka pasangan serasi".
Dea membalas senyuman Raka, "ayo kita segera bersalaman dengan teman kamu itu, A'a sudah tidak enak berlama-lama disini. A'a merasa dia memperhatikan kamu terus".
Dea mengerutkan dahi, ia mencari sosok Raka. Dan benar apa yang dikatakan Rafa. Raka menatapnya begitu intens. Rafa menariknya, melangkah mendekat ke arah Raka dan Ana. Dea kembali menatap kedua orang tua Raka, tersenyum menyambutnya.
"Dea, kamu cantik sekali malam ini sayang" ucap Anisa. Anisa memeluk Dea lalu di ciumnya pipi lembut Dea.
"Ah, mama biasa saja. Mama juga cantik" Dea menyengir dan tersenyum.
"Oiya ma, perkenalkan ini Rafa" Dea mencoba memperkenalkan Rafa kepada Anisa.
"Saya Rafa tante" ucap Rafa sopan. Ia sebenarnya sedikit terkejut, karena Dea memanggil Anisa dengan spanggilan mama.
"Kamu sehat-sehat saja kan sayang selama ini, main main lah kerumah. Mama kesepian tidak ada kamu Dea" ucap Anisa lagi.
"Iya, ma. Mama tenang saja, Dea pasti akan kesana".
"Janji ya, mama tunggu".
"Iya ma, ya sudah Dea sama Rafa mau pamit pulang dulu ya ma".
"Iya, terima kasih sudah datang, rasanya mama sedih jika seperti ini" ucap Anisa lirih.
"Ma, sudahlah. Ini pilihan mas Raka, kita bisa apa" Dea menenangkan Anisa.
"Pokoknya mama maunya sama kamu menjadi menantu mama".
"Mama, tidak boleh gitu, Dea janji akan selalu ada buat mama".
"Janji ya".
Dea mengusap tengkuknya tidak gatal, ia merasa canggung karena percakapan itu di dengar langsung oleh Rafa. Bersiaplah, rentetan pertanyaan akan dilontarkan langsung oleh Rafa. Rafa tahu Anisa adalah ibu dari Raka. Oh Tuhan, semoga ia bisa menjelaskannya nanti kepada Rafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS, DOKTER AKU CINTA KAMU (TAMAT)
Romance"Dokter jujur saya masih takut". "Jangan takut, saya akan menjaga anda selama operasi berlangsung, saya akan mempertanggung jawabkan semuanya". Dea merasa lega mendengar kata-kata dokter Raka barusan. "Dok, bisa tidak mengantar saya kerumah terlebih...