BAB 22

3.4K 118 1
                                    

Dea menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan hati dan perasaanya saat ini. Dea memang mencintai Raka, Tapi ia tidak ingin menyakiti hati Rafa yang jelas-jelas mencintainya selalu ada untuknya. Rafa begitu baik kepadanya. Ia juga menyayangi Rafa tapi bukan dalam konteks cinta untuk kekasih. Ia sudah mengenal Rafa dari kecil hingga ia tahu sifat Rafa seperti apa. Ia memilih Rafa yang mencintainya dari pada Raka. Lebih baik dicintai dari pada mencintai. Toh, jika dicintai hati kita akan tenang dan damai, dari pada mencintai membuat hati selalu sakit.

Hidup ini penuh teka teki, kita tidak bisa menembaknya begitu saja. Lihat saja apa yang terjadi saat ini, ia ingin sekali menikah dengan pria yang ia cintai, tapi nyatanya takdir berkata lain. Ini merupakan takdir, kita tidak mengelaknya. Hanya bisa bisa dinikmati, dan disyukuri setiap proses dihidupnya.

Dea akan mengikuti alur cerita cinta yang dipilihnya. Menikah dengan Rafa, adalah pilihannya. Mengesampingkan cintanya kepada Raka. Toh, Raka sudah ada Ana, mereka juga pasangan serasi. Pernyataan Raka kemarin, sudahlah ia akan lupakan saja. Ia akan menganggap itu adalah ujian menjelang pernikahan. Walaupun pernyataan itu membuatnya sedikit goyah, wanita mana yang tidak bahagia, ketika laki-laki yang ia cintai, mencintainya juga.

"Melamun apa anak mama".

Dea tersenyum, ia menatap Friska di depan pintu kamarnya, dan melangkah mendekatinya.

"Mama".

"Mikirin, Rafa ya".

Dea hanya nyengir, dan lalu merubah posisi tidurnya. Ia lalu menegakkan bahunya disandarkannya di sisi tempat tidur. Friska duduk di samping Dea, di tatapnya anak sulungnya.

"Arin adik kamu, kenapa belum nyampai juga ya ke Jakarta? Mama telfon nomornya tidak aktif".

Dea mengerutkan dahi, "Mungkin lagi liburan ma, sama teman-temannya".

"Kamu tahu sendiri Arin seperti apa. Teman-temannya saja mama tidak kenal, apalagi membawanya kerumah".

"Iya sih ma"

Dea mengedikkan bahu, ia kembali menatap Friska, "Nanti juga datang ma, mama tahu sendiri Arin suka jalan-jalan, mungki sekarang ada di Singapore, Phuket, KL, Arin kan suka begitu orangnya, minggu ini mungkin dia pulang. Positif saja ya ma, Arin sudah dewasa kok" ucap Dea, menenangkan Friska.

"Sudahlah kalau begitu, oiya Rafa kapan pulang? Katanya ke Bangkok ya".

"Iya ma, ada kerjaan disana. Minggu depan pulang".

"Beruntung kamu dapatin Rafa sayang. Dulu Rafa cengkring dan kurus, tapi sekarang bisa berubah jadi tampan gitu ya".

Dea tertawa, "Mama, tampan itu butuh proses".

Friska ikut tertawa, ia menatap Dea, "Rafa ada nelfon kamu?".

"Ada ma, tadi baru saja nelfon Dea sebentar".

"Yasudah kamu tidur, jangan tidur malam-malam. Mau nikah rajin-rajin ke salon, jangan kerja terus. Jadi bos kok rajin benar kamu, sekali-kali perawatan ke salon".

"Iya mama sayang, besok kita ke salon, Dea mau pijet, dan spa. Kayaknya badan Dea sudah hampir remuk nih".

Friska tersenyum menatap anak sulungnya, dan melangkah menjauh lalu mematikan sklar lampu.

*****

Rencana sesuai rencana, jasa wedding organizer telah bekerja beberapa hari yang lalu. Mulai dari memilih gedung, dekorasi, katering, akaesoris, gaun pengantin dan pernak pernik pernikahan sampai hal hal kecil sekalipun, untuk mewujudkan pernikahan yang diimpikannya. Dea sudah meeting kepada pihak wedding organizer untuk segala konsep pernikahan, walaupun tanpa Rafa.

Dea sangat bersyukur karena adanya jasa wedding organizer, jadi ia tidak ada stres memikirkan persiapan pernikahan. Dan kedua orang tuanya begitu antusias menjelang pernikahan, begitu juga keluarga Rafa sering berkunjung ke apartemennya, hanya demi memastikan apa ia baik-baik saja atau memberi wejangan untuk dirinya.

Dea senang menatap kebersamaan itu. Ia tidak mungkin membatalkan pernikahan ini hanya karena Raka. Itu sama sekali tidak mungkin, senyum kebahagian terpancar dari kedua belah pihak. Ia tidak ingin merusak moment kebahagian itu.

Dea duduk menatap layar monitor, dan menatap berkas-berkas dihadapannya. Bela sang sekretaris duduk di hadapannya, menyerahkan rekap gaji karyawan.

"Ciyeee, senangnya yang mau nikah" ucap Bela.

"Ya, jelas dong, emang situ yang masih jomblo" timpal Dea.

"Jomblo itu anugrah bu. Oiya bu, ada yang nyari ibu di bawah".

"Siapa?".

"Cowok, ganteng, tapi bukan calon suami ibu sih. Kalo ibu tidak mau sama dia, boleh dong dikenalin sama Bela, Bela kan jomblo" Bela mengedipkan mata.

Dea tertawa, melihat tingkah Bela. Dea sudah bisa menebak, siapa cowok ganteng yang dimaksud Bela. Dea tahu itu pasti Raka. Laki-laki itu ternyata masih gencar menemuinya. Padahal ia sudah mati-matian menghindari Raka.

"Bilang saja, saya sibuk".

"Ah ibu, saya sudah terlanjur bilang ibu ada di ruangan. Dan tidak sedang mengerjakan apa-apa".

Dea menepuk jidat, ia menatap Bela geram. "Haduh, yasudahlah suruh dia masuk ke ruangan saya".

"Oke ibu".

Tidak berapa lama kemudian, pintu itu terbuka. Dan terdengar pintu itu tertutup kembali. Dea menatap Raka berjalan mendekatinya.

"Ada apa mas kesini?" Tanya Dea.

Oke, ini adalah area kekuasaanya, jadi ia tidak perlu sungkan jika laki-laki itu berbuat tindakan asusila kepadanya. Tapi itu sama sekali tidak mungkin, Raka sangat menghormati wanita. Pasalnya ia sudah sering berbagi kamar kepada Raka. Raka tidak pernah sekalipun melecehkannya. Ya dia laki-laki baik.

Raka tersenyum menatapnya, "Mas, hanya ingin ngajak kamu makan siang".

Dea melirik jam yang melingkar di tangannya, masih menunjukkan pukul 10.30 "Ini belum jam makan siang mas".

"Brunch saja bagaimana?".

"Oke".

****

MAS, DOKTER AKU CINTA KAMU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang