"Mas, hanya ingin melihat kamu".
Dea tersenyum getir, diliriknya kembali jemari Raka, cincin itu masih melingkar di jari manis Raka. Betapa munafiknya laki-laki di hadapannya ini. Mengatakan seperti itu, ketika ia resmi menyandang gelar sebagai tunangan Ana. Betapa tidak sopannya Dimana hati dan perasaanya, kenapa ia bisa berkata seperti itu, sementara ia mencintai wanita lain.
Sudah cukup ia merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. Betapa perihnya hati yang ia terima, atas pernyataan Raka. Untuk apa Raka menyenangkan hatinya, mengajaknya ke Bali dua hari penuh. Memenuhi semua permintaanya, memanjakannya, membuat hatinya berbunga-bunga, membuat hatinya bahagia. Tapi dibalik itu ia tiba-tiba menyatakan lebih memilih kekasihnya. Sakit hati memang, bahkan sakit itu dapat ia rasakan hingga sekarang.
Jika pernyataan itu membuat penebusan dosa, ia lebih baik tidak melakukan apa-apa, ia lebih baik sendiri, dari pada Raka mengajaknya bersenang-senang. Dan lihatnya pria dihadapnnya kini, ingin bertemu dengannya. Untuk apa pria itu ingin bertemu dengannya lagi. Akankah untuk membuatnya sakit hati lagi?. Atau Raka sengaja ingin memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya itu, menyatakan ia telah bertunangan dengan kekasihnya.
"Untuk apalagi mas ingin bertemu Dea?".
"Apakah mas tidak boleh bertemu kamu?".
Dea hampir saja frustasi dengan pernyataan Raka barusan, ingin sekali ia meninju wajah tampannya.
"Sepertinya begitu, iya, tapi untuk apalagi mas ingin bertemu Dea?" Tanya Dea sekali lagi.
Raka melipat tangannya di dada, ia kembali menatap Dea. "Entahlah saat ini, mas hanya ingin bertemu kamu".
Dea tertawa, "Ingin bertemu Dea? Apa mas ingin memamerkan cincin yang melingkar di jari mas itu? Dan mengatakan mas berhasil bertunangan dengan kekasih mas? Dengar ya mas, dulu Dea memang mengharapkan mas menjadi kekasih Dea. Tapi sekarang tidak lagi, Dea tidak berharap lagi kepada mas".
Perkataan Dea sukses menohok hatinya. Kata-kata itu sangat pantas untuk dirinya. Raka hanya diam, ia menatap cangkir putih dihadapannya, lalu meraih cangkir itu, mengontrol emosinya.
"Maaf, tapi mas ingin berkata jujur kepada kamu" ucap Raka. Ia tidak ingin berlarut-larut dengan hati terbelenggu seperti ini.
"Apa lagi yang ingin mas katakan?".
Raka menarik nafas, dan di tatapnya wajah cantik Dea, "Mas menyesal" ucap Raka.
Dea mengerutkan dahi, ia masih tidak mengerti, "menyesal? Maksud mas apa?".
"Ah, sudah lah. Terima kasih sudah datang untuk mas, maaf mengganggu aktivitas kamu" Raka lalu berdiri.
"Tapi Dea belum mengerti apa yang mas katakan tadi".
Raka tersenyum, "Maaf, atas tindakkan mas yang telah menyakiti kamu, mas pergi dulu" Raka lalu melangkahkan kakinya, meninggalkan Dea.
Dengan cepat Dea mencegah Raka pergi, dan langkah Raka berhenti, ketika Dea meraih tangannya.
"Apa mas merasa bersalah karena mas telah menyakiti hati Dea?".
Raka hanya diam, ia kembali menatap Dea.
"Mas tenang saja, Dea sudah tidak apa-apa. Jangan terlalu merasa bersalah seperti itu. Lupakan saja apa yang terjadi diantara kita, itu hanya masa lalu".
"Hati memang tidak mudah di tebak, hingga kini mas masih tidak mengerti dengan hati mas sebenarnya. Kamu satu-satunya alasan membuat hati mas seperti ini".
Dea masih sulit mencerna kata-kata Raka, Dea termangu menatap punggung Raka yang kini menjauh meninggalkannya.
*****
Dea merebahkan tubuhnya, kata-kata Raka masih terngiang-ngiang di pikirannya. Masih mencerna kata-kata Raka yang diungkapkan siang tadi. Dea mengubah posisi tubuhnya kesamping, mengambil ponsel miliknya, ia mencari kontak "Mama". Lalu di tekannya tombol hijau.
"Iya, sayang" suara terdengar di balik speaker.
"Mama, apa kabar? Tidak rindu dengan anaknya yang paling cantik ini?".
"Tentu, mama merindukanmu sayang, mama baik, begitu juga papa. Ada apa sayang, tumben nelfon mama? Ada masalah?".
"Begini ma, Mama masih kenal kan dengan Rafa, tetangga kita dulu".
"Kenal dong sayang, Rafa yang sering nemenin kamu bermain itu kan".
"Iya ma, ada hal penting yang ingin Dea sampaikan kepada mama dan papa".
"Apa itu sayang".
Dea menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan kata-katanya, "A'a Rafa mau datang melamar Dea, secara resmi".
Suara gelak tawa terdengar jelas, tawa itu terdengar bahagia, "Benarkah, wah selamat sayang. Kapan mereka akan datang kesini melamar kamu? Mama dan papa akan menyambutnya dengan suka cita".
"Secepatnya, minggu ini, nanti Dea akan menanyakan kembali kepada Rafa kapan waktu yang tepat".
"Mama senang loh sayang, Rafa melamar kamu. Dari dulu kalian memang pasangan serasi, apakah Rafa sudah tumbuh sebagai pria tampan?".
Dea kali ini tertawa mendengar pertanyaan Itu, "tentu saja, Rafa sudah menjadi pria tampan ma, kalau tidak tampan, mana mungkin Dea mau".
"Anak mama, sudah mulai genit ya. Mama jadi penasaran".
"Penasaran kenapa ma?".
"Penasaran sama calon menantu mama".
Dea kembali mencurukkan wajahnya di bantal, "Mama, nanti lihat sendiri deh gimana Rafa sekarang. Oiya Arin kapan pulang ma?" Tanya Dea.
"Minggu depan mungkin".
"Emang sudah selesai kuliahnya?".
"Belum, tahun depan katanya. Pulang sih untuk liburan aja katanya".
"Owh begitu" Dea kembali berpikir, sungguh ia sudah lama tidak menelfon adik satu-satunya.
Dea tahu adiknya bernama Arin mempunyai sifat tertutup dan pendiam. Sejak tinggal bersama, berbagi kamar, ia tidak pernah sekalipun melihat Arin tertawa, ia selalu berkutik dengan buku-buku tebalnya. Berbanding terbalik dengan sifat dirinya yang selalu terbuka. Jujur ia tidak begitu mengenal adik kandungnya sendiri.
"Mama tunggu kehadiran kamu ya sayang, oiya salam juga buat keluarga Rafa. Mama tunggu kehadirannya".
"Iya ma".
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS, DOKTER AKU CINTA KAMU (TAMAT)
Romance"Dokter jujur saya masih takut". "Jangan takut, saya akan menjaga anda selama operasi berlangsung, saya akan mempertanggung jawabkan semuanya". Dea merasa lega mendengar kata-kata dokter Raka barusan. "Dok, bisa tidak mengantar saya kerumah terlebih...