Aku ingat, saat aku menanyakan mana yang lebih kamu sukai antara senja dan fajar, dengan cepat kamu menjawab jika kamu lebih menyukai fajar.
"Kenapa?" Aku bertanya padamu, dan hanya sebuah senyuman yang menjadi jawabannya.
"Kenapa?" Lagi, aku bertanya.
Dan kamu hanya tersenyum, lagi.Hari-hari berikutnya, aku menjadi terbiasa bertanya 'kenapa' padamu, dan seperti biasa kamu hanya tersenyum. Dulu, mungkin senyumanmu adalah hal yang membuat hatiku meletup-letup, tapi sekarang.. senyumanmu adalah hal yang paling ambigu untuk kumengerti. Terlalu semu untuk sekadar kuperhatikan.
Hingga detik ini, aku tidak mengerti kenapa kamu masih bisa tersenyum, saat semua tanya yang kutanyakan tak pernah kamu jawab.
Kamu tersenyum, selalu. Bahkan saat kamu memutuskan untuk pergi mencari bumi lain, kamu mengatakan sudah tak nyaman dengan bumi yang sekarang kau tempati, kamu ingin mencari yang lebih baik.
"Kenapa?"
Seperti sebelumnya, kamu hanya tersenyum. Senyum yang dulu menjadi candu, namun kini seperti sebuah canda yang menyakitkan.
"Kenapa?"
-Musim hujan dipenghujung agustus-
Kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menunggu Senja
PoesíaKamu itu seperti senja. Butuh waktu untuk bisa sekadar melihatmu, walau hanya sebentar... lalu kamu pergi lagi ditelan gelapnya malam. Dan aku harus menunggumu, lagi. Seperti itu seterusnya. Menunggu senja sama halnya seperti menunggu untuk melihatm...