Tiga Belas

32 7 6
                                        

Gedung menjulang tinggi dan cahaya yang menyeruak dari dalamnya. Itu yang pertama kulihat setelah terbangun. Tak lama setelah itu, mobil masih melaju dengan cepat, deretan pohon yang mengering berjejer sepanjang jalan, gerbang besar mulai terbuka otomatis. Seorang menyapa Laksa, menyambut kehadirannya.

"Kita sampai Lang". Kata Laksa memberitahuku.

"Bagaimana, lebih besar bukan?". Tanya Laksa.

Aku mengangguk lemah menyetujui apa yang di katakan Laksa, memang benar markas ini lebih besar, bahkan lebih mewah dari markas yang dulu, dari mulai gerbang saja sudah berbeda, apa lagi seluruh isi rumahnya.

Laksa memanggil Elang ke ruangannya setelah merasa semuanya sudah beres.

"Kamu sudah menyelesaikan SMA mu Lang, terus apa lagi yang kamu inginkan?". Tanya Laksa setelah aku berada di ruangannya.

"Pulang". Jawabku singkat.

Laksa menghela nafas panjang. Ia berpaling, beranjak ke arah jendela. Perlahan ia membuka tirainya.

"Apa kamu yakin dengan permintaanmu itu Lang?". Ucap Laksa dengan masih menatap hampa jendela.

"Aku yakin sekali". Jawabku Lagi berusaha meyakinkan Laksa.

Hening sejenak diantara keduanya.

"Baiklah, tapi ada syaratnya". Laksa menghentikan ucapannya.

"Apa syaratnya?". Tanyaku antusias.

"Kamu boleh pulang, kita bisa antar kamu langsung ke rumah, tapi kamu harus janji Lang, janji untuk kembali kesini, dan melanjutkan untuk menjadi pemimpin keluargaku".

Elang mendesah "Tapi aku bukan ahli warisnya".

"Aku tidak mempunyai anak Lang, selain kamu anak dari orang yang paling aku percaya, orang yang paling keluarga ini percaya, sahabatku satu-satunya,tak ada lagi selain kamu Lang, kamu harus berjanji akan kembali". Kata Laksa dan membuat Elang menghela nafas lagi.

"Baiklah Laksa, aku berjanji untuk kembali". Jawab Elang dengan lesu.

Laksa segera memerintahkan beberapa orang untuk mengantarku. Laksa menyiapkan helikopter milik keluarga Kris untuk aku gunakan.

Setelah aku mengemas beberapa bajuku, beberapa orang sudah menunggu di depan helikopter. Baling-baling memutar kencang, membuat angin kencang membawa debu.

"Siap kapten Elang?". Tanya Jhon sang pilot.

Elang tersenyum, lalu mengangguk.

Helikopter lepas landas, mulai terbang. Inilah pertama kalinya Elang menaiki kendaraan Udara. Tak pernah ia sangka, ia akan merasakan menaiki kendaraan seperti ini. Awan-awan mulai terlihat indah. Perkotaan mulai terlihat kecil. Bumi mulai menjauh.

Hanya empat jam lewat jalur udara mereka sudah sampai di kampung Elang. Helikopter mulai turun, beberapa sampah beterbangan akibat angin dari baling-baling.

Elang langsung berlari kerumahnya, terlihat Umak sedang berada di pekarangan memberi makan ayam.

"Abang.....". Teriak Nay yang melihat Elang. Nay segera berlari berhambur ke pelukan Elang.

Umak yang baru menyadari kedatangan Elang langsung menghampiri.

"Untuk apa kamu pulang Lang?". Tanya Umak dengan sensitif.

"Aku kangen kalian". Kata Elang sambil menangis masih memeluk Nay adiknya.

"Sudah Lang, kamu jangan pernah pulang lagi. Sudahlah, kamu hidup dengan paman mu saja. Dia bisa menjamin hidupmu, kalau kamu tetap di sini, mau jadi apa kamu nanti Lang". Kata Umak sambil menangis membelakangi Elang.

"Sudah jangan lama-lama, cepetan kamu pergi". Kata Umak sambil berusaha melepas pelukan Elang dengan Nay.

"Umak, aku rindu kalian, aku kangen kalian". Bentak Elang yang tidak menyangka, umaknya sendiri yang mengusirnya dari rumah.

"Sudah Lang, sana cepat pergi!". Bentak Umak sambil menangis.

Elang yang kesal dengan sikap Umaknya pergi, ia kembali ke helikopternya.

"Bang...". Teriak Nay yang mengejar Elang.

Elang menengok, melihat Nay yang menangis, Nay memeluk Elang lagi, " Bang, Umak tidak benci Abang". Kata Nay di sela-sela tangisnya.

"Nay, Abang pamit yah, mungkin setelah ini kita ga akan ketemu lagi". Kata Elang yang masih memeluk erat Nay. Nay langsung menangis kencang.

"Abang jangan ngomong gituh, semoga kita masih bisa ketemu lagi yah bang". Kata Nay masih dengan tangisnya.

Elang hanya tersenyum, dan berharap semoga yang diucapkan Nay adalah nyata.

"Abang pamit Nay". Kata Elang melepas pelukannya dengan adiknya, ia segera berlari memasuki helikopter.


Para Penguasa NegeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang