Sembilan

32 9 2
                                    

"Laksa, terjadi pemberontakan di pasar ujung selatan". Lapor seorang kepala tukang pukul bernama Gatot.

"Bawa beberapa tukang pukul dari markas, bagaimana caranya hari ini pasar harus kita kuasai". Perintah Laksa pada Gatot.

Aku yang sedang sarapan segera menghentikan suapan nasiku.

"Laksa aku mau ikut". Kataku sambil meminum air yang berada di dekat tanganku.

"Kau belum cukup tangguh". Kata Laksa padaku.

"Tapi Laksa". Ucapku membantah.

"Baiklah, tapi cukup kamu melihat mereka dari dalam mobil". Perintah Laksa.

Aku mengangguk menuruti perintahnya, aku segera pergi mengikuti Gatot.

Suasana riuh pasar yang begitu memekakkan gendang telinga, tanpa adanya pemberontakan saja pasar memang sudah riuh, apa lagi sekarang, ibu-ibu menangis mencari anaknya yang entah kemana, banyak orang kocar-kacir ketakutan.

Lelaki paruh baya datang dengan segerombolan anak muda membawa beberapa senjata tajam, dari mulai pisau lipat, golok, sampai celuritpun ada, pertumpahan darah terjadi di pasar ujung selatan, perutku mulai bereaksi mencium bau amis darah.

"Kau takut Lang?". Tanya Gatot, "Bagi kami, ini sudah biasa terjadi Lang". Lanjutnya.

Aku yang baru mendengar penjelasan Gatot semakin merinding ngeri. Melihat begitu banyak orang yang terluka bahkan tak sedikit yang terlihat sudah meninggal membuat isi perutku semakin ingin keluar.

"Hwookk". Isi perutku sudah tak bisa ku tahan lagi, membuat jok belakang kotor.

"Kanapa kau Lang?". Tanya Gatot.

"Aku mual". Jawabku dengan muka merah dan masih menahan mual.

"Ya sudah, kita kembali saja ke markas, lagi pula kita sudah menang". Kata Gatot sambil memerintahkan anak buahnya yang menjadi sopir.

Seorang anak lelaki mengetuk mobil yang ku tumpangi, "Tolong aku paman, tolong,," Ucap anak itu sambil menangis.

Aku iba melihatnya, Gatot yang menurutiku untuk menghentikan mobil akhirnya memerintahkan sopir berhenti.

"Dimana orang tuamu dik?". Tanyaku pada anak kecil itu.

Anak itu tidak menjawab, ia menangis lebih kencang. Namun dalam keadaan ia menangis, ia menunjuk ke arah tempat bergelimangan mayat, baru aku pahami, ternyata orang tuanya sudah tewas.

"Kuasai seluruh pasar bagian selatan hari ini!". Perintah Gatot pada salah satu anak buahnya.

"Boleh aku bawa anak ini ke markas?" Tanyaku pada Gatot.

"Bawa saja anak ini". Kataku pada Gatot yang sedang mempertimbangkan apakah akan dibawa atau tidak bocah kecil itu.

"Ayolah Gatot". Rengekku.

"Tapi kita butuh persetujuan Laksa Lang". Jawab Gatot .

"Nanti aku yang akan meminta izin padanya".

Kusuruh bocah itu masuk ke dalam mobil. Dilihat dari badannya, mungkin bocah ini tidak terlalu jauh denganku umurnya, mungkin kita hanya selisih satu tahun.

"Siapa namamu?". Tanya Gatot pada anak kecil itu.
Anak itu tidak menjawab pertanyaan Gatot, ia masih menangis.

"Apa kau tak mau melihat aksi anak buahku lagi Lang?". Tanya Gatot menawarkan untuk menyaksikan adegan pembantaian seperti tadi.

Aku hanya menggeleng lemah, melihat yang tadi saja membuat perutku mual, apa lagi jika aku melihat dengan waktu yang lama.

Jip melaju kencang meninggalkan bagian  pasar selatan.

"Siapa dia?". Tanya Laksa sesampainya kami di markas dan melihat bocah kecil itu dengan dahi mengerut.

"Maafkan aku Laksa, kasihan bocah ini, orang tuanya tewas dalam pembantaian tadi". Jawabku.

"Siapa namamu anak kecil?". Tanyanya Lagi.

"Na..maku Fatir". Jawabnya dengan terbata.

Syukurnya Laksa tidak mengintrogasi anak itu, ia diperbolehkan untuk segera masuk kedalam kamar, aku yang mengantarnya ke kamar karena kamarku tepat berada di seberangnya.

"Terimakasih". Ucapnya ketika aku dan Fatir memasuki kamarnya.

"Aku tinggal yah Fatir, kamarku ada di seberangmu". tunjukku. Fatir mengangguk dan aku meninggalkannya.

Para Penguasa NegeriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang