Bunda dan kakaknya Caca salah paham. Mereka justru mencap gue sebagai perempuan yang gak bener. Disini gue kecewa dengan tindakan Caca yang gak mampu buat ngejelasin apa yang sebenarnya terjadi. Ia bersembunyi dibalik kata 'takut'. Dan hal itu tentu saja membuat gue marah.
Sejak pertemuan yang tak disengaja itu, gue terus menghubungi Caca, tapi dia sama sekali gak merespons gue. Telepon dari gue sengaja ia matikan.
Untungnya dia masih merespons chat dari gue. Ia beralasan jika dirinya takut. Bundanya Caca memanng seribu kali lebih galak dibanding Mami gue, tapi harusnya hal tersebut bukan dijadikan alasan olehnya. Sumpah! Gue kesel banget sama Caca.
Selain itu, Caca jug memilih untuk gak masuk kampus. Padahal gue pengen banget ketemu dia secara langsung. Pengen ngebahas masalah ini sampai selesai. Tetapi Caca terlalu pengecut. Dan gue benci itu.
***
Sepulang kuliah gue gak langsung ke rumah. Otak gue butuh refreshing. Satu-satunya tempat yang bisa bikin gue nyaman jadi diri gue sendiri adalah Rumah Mimpi.
Gue suka dikelilingi sama anak-anak. Gue suka melihat mereka tersenyum, kadang tertawa terpingkal-pingkal karena guyonan temanya, atau disaat mereka sedang serius belajar. Wajah-wajah mereka sangat menggemaskan.
Seandainya waktu bisa diulang kembali, gue pengen jadi anak-anak. Gak perlu mikirin kerasnya kehidupan orang dewasa, serta rumitnya kisah cinta orang dewasa.
Gue menuju ke ruang lukis gue. Objek pertama yang gue lihat adalah lukisan wajah Seungwoo. Gue tersenyum miris. Seandainya gue gak senekad itu buat deketin Seungwoo, pasti kesalahpahaman ini gak bakalan terjadi. Namun, di satu sisi, hati gue berkata jika gue gak salah. Setiap orang berhak berjuang, setidaknya untuk sekali saja.
"Lukisannya belum selesai juga?" Tanya kak Wooseok yang tiba-tiba masuk.
"Belum kak." Jawab gue.
"Ada masalah? Wajah kamu murung banget." Kak Wooseok adalah salah satu makhluk terpeka yang pernah gue kenal. Sayangnya sih jomblo, wkwkkw..
"Iya kak." Angguk gue.
"Pasti gak mau cerita kan? Udah saya tebak sih." Iya benar. Gue selalu menyimpan semua masalah gue sendiri. "Kamu bukan orang terkuat didunia ini untuk bisa memendam semuanya sendiri. Bagi sama saya jika kamu membutuhkan tempat berbagi." Lanjut kak Wooseok. Tetapi gue menggelengkan kepala. Gue gak siap untuk bisa berbagi semua masalah gue.
"Selalu kamu begitu." Ujar kak Wooseok sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Daripada kamu murung gini, mending kamu ikut saya keluar. Kita ketemu sama salah satu donatur Rumah Mimpi. Pasti kamu suka sama orangnya."
"Gak ah kak." Tolak gue secara halus.
"5 menit lagi kita ketemu di mobil yah. Awas kalau kamu gak datang." Salah satu sikap kak Wooseok yang bikin gue kesel adalah ini, tak terbantahkan. Nyebelin banget.
Sekesal-kesalnya gue, toh gue tetap ajah ngikutin kak Wooseok. Walaupun gue samasekali gak tahu arah tujuan ini.
Ternyata mobil kami berhenti didepan sebuah hotel. Gue menatap kak Wooseok penuh tanda tanya. "Tenang ajah, saya gak mungkin ngapa-ngapain kamu di tengah hari begini kan?" Ujar kak Wooseok seakan mengetahui apa yang ada dipikiran gue.
Kak Wooseok membawa gue masuk ke hotel tersebut. Kami menuju ke sebuah ruangan. Oalah, ternyata ini adalah sebuah ruangan rapat kecil. Ya, hotel ini memang memfasilitasi ruangan rapat yang berukuran kecil. Cocok sekali untuk kami yang sedang ingin bertemu dengan donatur Rumah Mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
• Single Dad • Han Seungwoo
Hayran KurguHan Seungwoo, seorang duda tampan yang sudah mempunyai seorang anak, bertemu dengan seorang calon mahasiswa abadi. Cantik sih, tapi sayang bobrok banget, berbanding terbalik dengan sikap Seungwoo yang berwibawa.