Gue pulang ke rumah dengan setumpuk beban pikiran.
"Dari mana kamu?" Tanya Mami setelah melihat gue masuk.
"Kampus Mi." Bohong gue.
Mami menatap gue tajam. Dengan perlahan ia menuju ke arah gue.
PLAKK!!!
Satu tamparan mengenai pipi gue. "Mi..." Ujar gue bergetar.
"Kamu ini Mami didik untuk menjadi perempuan baik-baik. Bukan jadi perebut tunangan orang!" Marah Mami.
Bisa gue tebak dengan mudah. Bundanya Caca pasti udah kasih tahu ini ke Mami. Bego! Gue bego banget! Jika sudah begini, gue pasti habis sama Mami.
"Mi..."
"Sadar gak sih kamu! Itu tunangannya Caca, sahabat kamu sendiri!" Kali ini kepala gue ditoyor sama Mami.
"Malu-maluin banget sih kamu jadi anak!" Sumpah, seumur hidup gue, gak pernah sekalipun gue dengar Mami bilang malu punya anak kayak gue. Ini pertama kalinya. Dan rasanya.... sakit banget!
"Mami malu ngelahirin anak kayak kamu!" Lagi. Mami ngucapin kata-kata itu lagi. Dan sakit di hati gue bertambah lagi.
Air mata gue gak terbendung lagi. "Mi..." Gue masih mencoba untuk menyangkal apa yang dikatakan Mami, tapi gue gak bisa.
"Kenapa kamu gak bisa kayak kakak kamu. Pintar, cantik, membanggakan orang tua, pokoknya selalu jadi yang terbaik. Sedangkan kamu?! Apa hah?!" Murka Mami.
Serendah itu kah gue? Bahkan ibu kandung gue sendiri ngomong begitu ke gue.
"Pertama! Kamu selalu ngelukis. Udah Mami larang kan sebelumnya?! Kamu masih tetap ngelukis kan?!" Bentak Mami.
"Kuliah sampai sekarang belum kelar-kelar. Eh, malah pengen nikah."
"Sekarang, malah ngerebut tunangan sahabat sendiri!!"
"Sasya?" Panggil Mami dengan nada frustasi. Gue yang sedari tadi menunduk, mencoba mengangkat kepala menatap Mami.
"Kamu malu-maluin banget deh. Mami malu punya anak kayak kamu." Kata itu lagi. Entah sesakit apa jadi gue. Pokoknya sakit banget.
"Mi.. Sasya minta maaf Mi." Pinta gue sembari mencoba meraih tangan Mami.
"Jangan sentuh Mami!" Pekik Mami dengan suara keras. Gue tercengang.
"Kamu sama Papi kamu itu sama! Gak bisa ngapa-ngapain." Gue cukup terkejut ketika Mami menyinggung Papi. Pasalnya swlama ini Mami gak pernah sekalipun menyinggung soal Papi.
"Kamu tau kenapa Mami ngelarang kamu buat ngelukis?!" Gue menggeleng.
"Itu karena kamu ngingatin Mami sama dia! Mami benci sama dia. Mami benci kamu yang terlihat begktu mirip dengan dia. Bahkan perilaku dan sifat kalian sama. Hobi kalian pun sama, suka melukis."
"Gara-gara kamu, Mami harus tersiksa setiap kali ngeliat kamu. Kamu selalu ngingatin Mami sama rasa sakit yang Mami alami selama ini." Ujar Mami sambil terisak.
Hal yang baru saja gue ketahui saat ini membuat jati gue hancur berkeping-keping. Pantas saja selama ini Mami terlihat begitu cuek dengan gue. Ternyata itu alasannya.
Bego!
Bego!
Bego!
Gue terus merutuki diri gue sendiri. Gak tahu harus menyalahkan siapa, yang gue bisa hanya mengumpat diri gue sendiri.
Ada rasa sakit yang teramat sangat dalam ketika melihat Mami nangis. Tapi sedalam-dalamnua rasa sakit itu, ada satu yang jaih lebih menyakitkan.
Kehadiran gue.
Gue mempersalahkan kehadiran gue, karena menurut gue, sumber dari semua rasa sakit ini adalah gue. Bahkan rasa sakit yang gue alami pun bersumber dari diri gue sendiri. Gue terlalu naif untuk mengatakan gue baik-baik saja. Dan gue terlalu bego untuk enggak menyadari bahwa gue sendirilah penyebab semua ini.
Bukan cuman cinta yang rumit. Hidup gue ternyata lebih rumit dari apapun.
***
Gue lebih memilih keluar untuk menenangkan diri setelah Mami memarahi gue habis-habisan. Jika selama ini, disaat gue sedih, Rumah Mimpi selalu jadi tempat tujuan gue, kali ini tujuan gue buntu.
Hari sudah semakin malam, gue gak tahu ini udah jam berapa. Bahkan gue sama sekali gak berminat untuk sekadar mengetahui sudah jam berapa ini.
Langkah gue yang tak terarah justru membawa gue ke taman kota. Semesta mungkin tahu gue butuh waktu sendiri, oleh sebab itu semesta sengaja membiarkan taman ini larut dalam kesunyiannya. Hanya sedikit orang yang ada ditaman ini.
Gue memilih duduk disebuah bangku taman. Pikiran gue berkelana jauh. Beban pikiran gue semakin menumpuk. Gue gak mempersalahkan Mami, gue juga gak menyalahkan Papi, gue hanya menanyakan kepada diri gue sendiri. Ini salah gue kah?
Bahkan diri gue sendiripun sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Gue hanya mengambil kemungkinan. Mungkin ini salah gue.
Bibir gue menertawakan kebodohan diri gue sendiri. Lo salah! Itu bukan mungkin, tapi kenyataan!
Ya, ini salah gue. Bukan kemungkinan lagi, melainkan kenyataan.
"Hadirnya gue pun adalah sebuah kesalahan." Ucap gue pelan.
Antara rasa sakit dan rasa ingin tertawa. Gue ingin tertawa dengan kebodohan gue sendiri, tapi itu rasanya sakit banget.
Seandainya gue gak senekad itu buat deket sama Seungwoo.
Seandainya waktu itu gue menolak ide Caca buat ngedekatin Seungwoo.
Seandainya gue bisa berpikir lebih baik lagi.
Ah, terlalu banyak kata seandainya disaat gue udah terlalu menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
• Single Dad • Han Seungwoo
FanficHan Seungwoo, seorang duda tampan yang sudah mempunyai seorang anak, bertemu dengan seorang calon mahasiswa abadi. Cantik sih, tapi sayang bobrok banget, berbanding terbalik dengan sikap Seungwoo yang berwibawa.