Di perjalanan pulang, Rafan masih terus menemani Kirania, mereka berjalan berdua berdampingan menyusuri jalan.
"Nia ... rumahmu di mana?"
Pertanyaan itu akan menjadi inti dari keputusan selanjutnya yang dia ambil, tentang sampai di mana dia akan berjalan bersama. Jika rumah mereka berjauhan, Rafan pun enggan menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mengantar Kirania.
"Rumahku? Hmn ..." Ucap Kirania mengulang kata tersebut sambil melihat langit, "di sana." Lalu jawabnya sambil menunjuk gedung tinggi yang menjulang terlihat mengalahkan seluruh bangunan pendek di sini.
Rafan mengikuti arah tangan Kirania lalu berkata, "Apartemen?"
"Iya ... aku tinggal di apartemen."
Gedung itu sebenarnya cukup dekat dengan sekolah, tidak terlalu jauh karena bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Tapi, Rafan sedikit aneh karena baru kali ini dia menemukan murid yang tinggal di apartemen.
"Kamu di sana tinggal sama siapa?"
Setahu Rafan tempat itu cukup sempit di setiap kamarnya. Apartemen yang ditunjuk Kirania bukanlah kelas mewah, lebih seperti rumah susun dengan fasilitas menengah ke atas. Cukup aneh jika satu keluarga memilih tinggal di sana, karena wajarnya pemilik satu kamar tinggal sendirian.
Tentu saja Kirania ada di umur dan situasi di mana dia tidak bisa tinggal sendiri. Oleh sebab itu Rafan penasaran dan bertanya. Paling tidak dia harus punya satu wali yang menemaninya di sana.
"Sama kakakku. Dia perempuan dan sudah kerja." Jawab Kirania.
"Ah ... jadi begitu."
Jawaban itu menjelaskan semuanya, dan itu membuat Rafan memutuskan untuk mengantar Kirania sampai dia bisa masuk area apartemen. Tidak terlalu rugi karena rumahnya sendiri satu jalur dengan gedung itu.
Laki-laki itu menyebutkan tujuannya, dia hanya membiarkan waktu berjalan dan tindakannya yang mengantarkan Kirania dibiarkan larut begitu saja.
"Ngomong-ngomong, Rafan ...." Panggil gadis itu yang mulai percakapan, "Kira-kira kapan aku bisa sembuh?"
"Kapannya sendiri ... aku juga kurang tahu. Itu tergantung kita yang bisa kumpulin emosi positif, kalau kita cepat, botol ini juga cepat penuh dan kamu bisa sembuh."
"Emosi positifnya itu sendiri kayak gimana? Aku masih gak ngerti."
Kirania memasang wajah tidak mengerti. Di kepalanya sekarang penuh dengan bagaimana dan kapan dia bisa lepas dari kutukan masturbasi. Untuk usahanya tentang emosi positif, dia masih tidak menyentuhnya.
"Emosi positif itu ya emosi positif." Jawab Rafan, "Apa kamu pernah merasakan kesenangan luar biasa sampai semua dunia berubah menjadi lebih indah?"
"Aku bisa membayangkan itu terjadi waktu aku lepas dari kutukan ini."
"Ini bukan tentang kamu, ini tentang membuat orang lain merasakan perasaan itu."
"Oh ... aku mulai ngerti ke mana arahnya." Jawab Kirania dengan ceria, "Jadi, kita tinggal bikin orang senang biar mereka keluarin emosi positif itu. Terus aku bisa sembuh."
"... Iya," Jawab Rafan dengan datar, "tapi itu gak gampang. Emosi positif yang in itu luar cukup sulit, ini seperti perasaan senang ketika bebas dari tekanan berat."
Kirania menangkap itu masih tidak mengerti. Pikiran mereka tidak menyambung karena Kirania masih dibutakan dengan rasa ketidaksabarannya untuk bebas dari kutukan. Ini membuat dia tidak peka dengan kewajiban berat yang Rafan maksud sekarang.
"Contohnya kayak gimana memang?"
"Contohnya ..." Ucap Rafan sambil berpikir, "Kayak orang yang bebas dari penyakit kanker, atau orang yang terbebas dari depresi ingin bunuh diri, atau ... orang yang selamat dari broken home."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Berawal Dari Kepergok Masturbasi ...!
RomanceM A T U R E Content ...!! Spin off dari 'Mind Taster'. Mengambil latar 3 tahun setelah 'Mind taster', tapi kalian masih bisa menikmati cerita tanpa membaca karya tersebut. ...