Botol Sihir

8.4K 194 1
                                    


Kirania duduk diam mengabaikan kedatangan Rafan. Keadaan hatinya masih terganggu dan perlu waktu lagi untuk menyesuaikan diri untuk bicara dengan laki-laki tersebut.

Di samping itu, hal yang berbeda terjadi pada orang di sebelahnya, Amalia berdiri dan menghadap ke arah Rafan sebagai respons hormat atas kedatangannya.

"Rafan ..." Wanita itu memberi senyum hangat dan berkata, "kamu sudah selesai sama Kaivan? Jadi, gimana hasilnya?"

"Un ..." Rafan mengalihkan pandangan pada Amalia sambil berusaha mengeluarkan benda di sakunya, "Kaivan memberiku ini." Lalu menunjukkan sesuatu padanya.

"Eh? Itu ...." Amalia membuat wajah bingung dicampur sedikit terkejut, dia mengerutkan alisnya sambil berpikir sesuatu.

Benda yang dipegang Rafan sekarang adalah sebuah botol kecil seukuran dengan wadah parfum premium. Botol tersebut terbuat dari kaca membentuk berbagai sudut indah simetris yang membuatnya terlihat begitu mewah.

Tapi, tentu saja itu bukan botol biasa. Kaivan memberikan sebuah alat sihir, benda tersebut mengeluarkan cahaya warna-warni dari pelangi secara bergantian layaknya lampu disko. Di dalam botol itu terdapat inti bulat yang berpijar layaknya sumber energi cahaya.

"Katanya ini adalah botol yang bisa mengabulkan segala permintaan. Tapi, dia punya bahan bakar perasaan positif manusia. Kaivan menyuruhku mengumpulkan perasaan tersebut hingga botol ini penuh dan Nia bisa bebas dari kutukan masturbasinya."

"..."

Amalia diam tidak membalas penjelasan Rafan.

"He!?" Namun, Kirania di sisi lain bereaksi hebat dengan ikut berdiri bersemangat, "Aku bisa sembuh!?" Dilanjut tanyanya dengan suara keras.

"Iya." Jawab Rafan dengan santai sambil mengganti arah matanya ke Kirania.

Kirania kali ini melupakan perasaan canggungnya, luapan emosi bahagia terpancar hingga dia melepas semua beban di sini.

Gadis yang dipenuhi semangat itu ingin cepat-cepat mendekati Rafan. Dia mencoba berjalan menyalip sela-sela kursi untuk sampai tepat di hadapannya.

"Mana ... mana!? Aku lihat, donk!" Kata Kirania sambil mendekatkan tubuhnya ke Rafan.

"Wo-woi." Rafan refleks merentangkan tangannya untuk mendorong Kirania agar dia tetap pada jarak aman. Dia juga mengangkat botol tersebut ke atas dengan tangan satunya agar semakin sulit dicapai gadis tersebut.

"Hng!" Kirania sedikit cemberut melihat tingkah Rafan.

Tubuh laki-laki itu lebih tinggi dari Kirania sendiri. Ketika dia mengangkat tangannya ke atas seperti itu, Kirania tidak akan bisa menggapainya walau melompat.

"Tu-turunin, donk. Aku juga mau lihat." Kata Kirania sedikit kesal.

"Aku kasih lihat, tapi jangan dekat-dekat. Kalau kesenggol terus jatuh kamu mau gimana?"

Rafan khawatir dengan tingkah gaduh Kirania yang mungkin bisa berakibat fatal. Tentu saja barang kali ini dia ingin jaga baik-baik karena tidak mungkin menggantinya jika rusak.

"Tenang saja ... botol itu keras, kok. Gak akan pecah dan kayaknya sama keras kayak berlian." Jelas Amalia menengahi mereka.

Kirania memandang Rafan dengan tatapan sombong karena mendapat pembelaan. Seperti wajahnya berkata, 'lihat, kak Lia juga bilang begitu, jadi jangan pelit'.

Rafan pun juga menurunkan tangannya dan membiarkan Kirania melihat dari dekat. Tapi, dibandingkan dengan sikap Kirania, dia lebih tertarik dengan ucapan Amalia barusan.

"Kak Lia tahu tentang botol ini?"

"Iya," Jawabnya tanpa keraguan, "malah botol itu dulunya punyaku."

"Oh," Reaksi Rafan membuat wajah sedikit terkejut, "Apa gak apa-apa aku ambil botol ini?"

"Gak apa-apa, kok. Kalau Kaivan sudah kasih ke kamu, aku gak punya hak buat ambil lagi. Lagian, aku juga sudah gak pakai, sih."

"Hmn ... kalau begitu, makasih juga buat kak Lia. Kalau selesai aku bakal kembaliin nanti."

Ketika Rafan dan Amalia saling bicara, Kirania malah masih terpukau sendiri melihat botol itu. Kilauan indah di setiap sisi dan inti cahaya pijarnya membuat dia tenggelam cukup lama.

"Enggak ... aku gak ngapa-apain di sini. Kalau mau ucapin terima kasih, ke Kaivan saja." Ucap Amalia merendah.

"Aku sudah melakukannya."

"Woah ... bagus, bagus. Pertahanin itu, yah ...." Ucap Amalia sambil mengelus kepala Rafan.

"..."

Laki-laki itu tidak melawan, dia cenderung diam dan sedikit malu ketika Amalia mengelus kepalanya. Daripada mengeluh dan menampar tangan tersebut, dia lebih memilih menikmati setiap elusannya dengan seksama.

"Hmn?"

Kirania yang di tengah mereka pun sadar akan kejadian itu. Dia sedikit memandang aneh ketika Rafan bersikap lembut dan jadi seorang yang sopan.

Amalia menghentikan elusan kepala pada Rafan, dia memandang tegak dan berkata, "Ngomong-ngomong, kamu tahu cara kerja botol itu?"

"Iya, aku sudah tahu, Kaivan kasih tahu semuanya." Jawab Rafan dengan percaya diri, "Kalaupun ada yang gak ngerti, aku bisa ke sini lagi buat tanya."

"Un," Amalia mengangguk menerima hal tersebut, "kalau begitu, kamu sekarang mau apa? Mau langsung pulang?"

"Hmn ...."

Rafan mendengung cukup panjang sambil memegang dagu, berpikir sedikit tentang bagaimana cara dia melewatkan waktu sekarang.

"Hn?" Sampai pada saatnya dia memandang ke arah Kirania, gadis itu meresponsnya dengan wajah bertanya-tanya.

"Gimana? Kamu mau langsung pulang? Aku sendiri mau pulang."

"A-aku, sih gimana kamu saja, Raf. Kalau kamu pulang, aku juga, masa aku mau ditinggal sendiri."

Kirania sudah tidak memperhatikan botol itu lagi, karena itu Rafan mulai menaruhnya pada kantung agar tidak mengganggu.

"Jadi, kira-kira kayak begitu, Kak. Sekarang aku langsung pulang saja."

"Oh, oke. Kalian mau diantar pakai mobil?"

"Enggak, makasih. Aku gak mau repotin Kaivan lagi."

Kirania awalnya senang dengan itu, dia sedikit tidak suka berjalan di tengah hari yang cukup menguras tenaganya. Tapi, setelah mendengar ucapan Rafan tentang Kaivan. Gadis itu pun ikut sungkan, karena itu membuktikan kalau orang yang menyetir adalah pria menakutkan tersebut.

Rafan mengucap salam kecil sebelum dia berjalan menuju pintu keluar.

"..."

Tapi, dia terhenti sebentar ketika dekat dengan meja.

Laki-laki itu memandang benda di atas meja pendek tempat kue suguhan diletakkan. Sebelum melanjutkan langkahnya, dengan cepat Rafan mengambil dua buah kue untuk dimakannya di jalan.

"Kak, aku ambil, yah." Ucapnya dengan santai.

"E-eh?" Respons Kirania yang ingin berteriak menghentikan Rafan.

"Ehehe ..." Tapi, semua itu dicairkan oleh tawa Amalia, "ambil saja yang banyak."

Rafan tidak merasakan kalau tindakan barusan adalah kesalahan. Tapi, dia tidak melakukan hal yang sangat bodoh seperti mengambil seluruh toples itu pulang. Laki-laki itu hanya membawa sedikit agar mulutnya tidak kesepian.

Setelah sesampainya di pintu depan. Kirania dan Rafan mengucapkan salah kecil pada Amalia. Berterima kasih dan meminta menitipkan salam pada Kaivan yang tidak hadir di sana.

Pada akhirnya, mereka berdua pergi meninggalkan rumah itu dengan berjalan kaki. 

Cintaku Berawal Dari Kepergok Masturbasi ...!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang