Peluang Bisnis

3.3K 108 4
                                    


Urusan di pameran mobil antik itu seharusnya berlangsung singkat, Kirania juga bahkan sudah selesai mengambil seluruh foto yang dibutuhkan hanya dalam sepuluh menit. Tapi, bapak tua yang membina dan menjelaskan sejarah mobil antik tidak kunjung melepaskan Rafan. Ini membuat Kirania sulit mengatakan untuk 'ayo, pulang sekarang' padanya.

Waktu berlalu hampir tiga puluh menit, sikap Kirania yang menunjukkan ekspresi tidak menyenangkan serta ingin keluar dari tempat itu disadari Rafan. Laki-laki itu pun segera membuat percakapan berakhir, karena kekuatan yang dimilikinya, tidak ada sedikit wajah tersinggung dari pria tua itu.

Kirania sejak tadi menunggu dan duduk di kursi yang berada dekat dengan acara tersebut. Wajahnya kembali hidup setelah Rafan datang menjemputnya untuk keluar dari tempat itu. Dengan cepat, mereka pun berdiri dan berjalan keluar dari area tersebut.

"Kenapa kamu lama banget di sana, Raf? Kok malah jadi aku yang tunggu kamu barusan."

"Iya, maaf ... cerita bapak barusan agak panjang. Dia kolektor sukses yang punya pandangan seni pada barang langka kayak mobil barusan." Ucap Rafan menjelaskan alasan, "Kamu sendiri gimana? Foto apa saja yang kamu ambil?"

Kirania mengambil Hanphonenya lagi, dia membuka kunci dan menunjukkannya pada memori foto untuk ditunjukkan pada Rafan.

"Hmn ..." Rafan menerima Handphone tersebut, dia melihat dengan teliti setiap foto yang diambil layaknya kritikus profesional, "Fotonya kurang jernih, yah ...." Ucapnya setelah beberapa detik memandangi Handphone tersebut.

"Itu bukan salahku, itu salah Handphonenya. Aku juga bukan fotografer, wajar saja kalau fotonya gak bagus." Jawab Kirania membela diri.

"Hmn ..." Rafan tak kunjung melepas pandangannya, dia masih meneliti foto itu dengan serius, "Menurutku sudah bagus, pengambilan sudut foto yang kamu ambil sudah kayak fotografer."

"Iya ... kalau kamu belajar gambar, kamu juga bakal tahu sendiri posisi yang bagus buat gambar benda. Kalau kamu foto tegak lurus, itu gak nunjukkin keindahan, makanya lebih bagus kalau posisi kamera dibikin agak miring."

"Oh ... begitu, yah. Ternyata kamu gak bodoh." Tukas Rafan sambil mengembalikan Handphone tersebut pada Kirania.

"Dari awal aku gak bodoh, kamu yang bodoh." Lalu dijawab dengan balasan setimpal oleh Kirania ketika menerima Handphone tersebut.

"Haha," Rafan singkat menerimanya, "Kalau kamu mau foto lain, aku bisa minta bapak tadi buat kasih fotonya. Dia punya kamera yang bagus, dan aku bisa suruh dia samain posisi kameranya kayak foto kamu."

"Eh?" Respons Kirania yang mencerna ucapan Rafan, "Maksudnya kamu bakal ke sini lagi gitu?"

"Itu juga bisa, sih." Jawab Rafan, "Tapi, kalau minta foto doank, gak usah ketemuan juga ... cukup minta dan dia bakal kirim secepatnya. Kalau kamu mau, follow saja instagramnya, banyak foto mobil juga di sana."

"Hn!?" Kembai respons Kirania menegakkan sebelah alis menduga-duga, "Sejak kapan kalian tukeran kontak?"

"Oh ... kamu gak sadar? Iya, mungkin kamu sibuk ambil foto barusan." Gumamnya menganalisis keadaan di pameran tersebut, "Sebenarnya ... hampir semua orang yang ngomong sama aku lebih dari lima menit, bakal kasih nomor kontaknya ke aku. Jadi, bapak tadi juga bukan pengecualian."

"Ah ... kekuatanmu lagi ... kayaknya semua keanehanmu itu pasti penyebabnya di kekuatan kamu." Jawab Kirania dengan jawaban lemas kehilangan rasa penasarannya.

"Mau gimana lagi, aku gak bisa matiin efeknya." Ucap Rafan ketika melihat wajah Kirania yang kehilangan tensi ucapannya, "Lagian, kali ini ada aku yang sengaja minta. Bapak itu bisa jadi partner bisnis, kayaknya dia bakal suka kalau ada orang yang bisa gambar pakai style pensil ke mobil antiknya."

"Oh, beneran?"

"Beneran ..." Jawab Rafan mengangguk kecil, "aku juga sudah bilang kalau kamu bisa gambar. Jadi, nanti aku minta foto mobil dia buat kamu gambar. Kalau dia suka, dia bakal beli gambarnya dan—."

"Eh!? Beneran!?" Potong Kirania ... dan kali ini sedikit berteriak.

Rafan menutup mata karena teriakan Kirania. Wajahnya tidak terkejut dengan hal itu, mungkin karena dia sudah terbiasa atau semacamnya. Hanya saja, dia terlihat seperti terganggu dengan suara keras barusan.

"Iya ... beneran." Jawabnya menahan sedikit rasa kesalnya, "Kamu memang gak sadar? Kenapa aku gak foto mobil itu dan ngobrol akrab ke bapak itu?"

"Memangnya alasannya? Aku kira kamu cuman tertarik sama mobil antik juga."

"Bukan ... jujur saja aku masih gak ngerti pikiran orang itu yang mau keluarin uang banyak buat satu mobil yang fungsinya cuman dipajang." Tukas Rafan menjawab dugaan Kirania, "Alasanku itu karena lihat peluang bisnis. Karya lukis itu biasanya dilirik sama orang menengah ke atas, dan iya ... kebetulan ternyata dia juga suka style pensil dibanding sama digital."

"Oh ..." Respons Kirania sedikit terkagum, "ternyata beneran kamu gak bodoh, Raf."

"Huft ... hah ... kapan julukan bodohku lepas di pikiranmu ...." Tukas Rafan menanggapi jawab Kirania dengan nada menurun.

"Habis belakangan ini omonganmu kayak orang bodoh." Ucap Kirania merendahkan, "Ah, enggak ... mungkin gara-gara kita saja yang mulai sering ngobrol sekarang. Sebelumnya aku cuman kenal kamu sebagai ketua OSIS."

"Iya, sejak kejadian masturbasimu kita jadi sering ketemu."

"Nah, itu, Raf!?" Teriak Kirania yang tiba-tiba meninggikan nada bicaranya.

"Huh? Itu apa?"

"Tentang kutukanku, bisa gak kamu gak ngomongin itu terus?"

"Tenang saja, aku gak bakal kasih tahu ke orang lain ... dan aku juga cuman ngomongin ini waktu kita berdua."

"Walaupun berdua ... bukan berarti aku gak apa-apa ngomongin hal itu."

"Huh? Kenapa?"

"Iya ... karena ... sedikit canggung, terus ... aku malu juga. Entah kenapa waktu kamu ngomongin itu, kayak kamu ngeremehin rasa malu aku." Ucapnya sambil menyembunyikan wajah menghindari tatapan langsung.

Kirania tahu kalau ucapan Rafan tidak salah, laki-laki itu bicara dengan lurus tanpa mengkhawatirkan hal-hal kecil. Tapi, bagi Kirania hal kecil tersebut adalah besar, privasi masturbasi adalah kehidupan dan masalah yang cenderung tabu dibicarakan, setidaknya itu menurut Kirania.

Berbeda dengan Rafan, dia membicarakan topik seks layaknya pembicaraan sehari-hari. Entah karena perbedaan gender atau sifat aslinya, tapi itu membuat perasaan Kirania selalu terguncang tak beraturan.

"Oke, aku bakal kurangin ngomong hal itu." Jawab Rafan menyetujui keluhan tersebut, "Tapi, usahakan kamu bilang secara jelas waktu kutukan kamu muncul."

"..."

Rafan sedikit membenarkan posisi tas kecilnya, dia merenggangkan tubuh untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan.

"Ternyata perempuan asli itu merepotkan." Gumamnya sebelum kembali berjalan.

"Yang ngerepotin itu kamu! Kenapa yang kayak gini saja harus dikasih tahu!?" Lalu jawab Kirania berteriak pada Rafan yang tidak melihat ke arahnya, gumam tersebut ternyata cukup keras untuk sampai di telinganya.

Mereka kembali berjalan, suasananya jadi lebih bersahabat karena di perjalanannya dipenuhi keramaian. Jadi, mereka secara otomatis melupakan amarah dan bersikap tenang agar tidak menarik banyak perhatian.

Kirania kembali membawa percakapan ke arah mobil antik barusan. Tentu saja dia tertarik karena sebelumnya Rafan bicara tentang bisnis gambarnya yang bisa menghasilkan uang.

Gambar realis menggunakan pensil sendiri memiliki beberapa keunggulan, salah satunya adalah memberi kesan tradisional unik yang biasa didapat dari foto hitam putih. Teknologi sekarang bisa membuat foto memiliki efek seperti itu, tapi tentu saja berbeda dengan gambar pensil yang asli.

Kirania mulai bersemangat, apalagi ketika Rafan mengucapkan kalau gambar bagus menurut bapak tadi minimalnya dihargai buku Strathmore 400-nya. Cukup jarang orang memesan gambar, apalagi pada seniman muda pemula sepertinya. Jadi, kali ini dia bahagia ketika ada orang yang memandang karyanya memiliki harga jual.  

******

Cintaku Berawal Dari Kepergok Masturbasi ...!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang