"Time passed away. People changed."
Gadis itu terbangun dengan perasaan gugup serta waspada. Fokusnya seketika menelisik sekitar, berusaha mengenali tempatnya berbaring saat ini.
Kamar itu bercat biru muda dengan perabotan warna putih dan cokelat, tampak rapi walau anehnya terasa kosong.
"Rumah om-om itu." Otaknya perlahan tersadar mengingat kejadian semalam.
Ia segera bangkit, membersihkan diri dan mengganti baju dengan pakaian yang lebih bersih. Setidaknya sekarang ia memakai kaos dan celana bersih, tanpa hoodie.
Reyhan sedang duduk santai di ruang tamu sambil membaca koran ketika akhirnya Mentari keluar. Jam dinding menujukkan waktu sudah pukul 10 pagi, membuat Mentari bersiap dengan sindiran apapun yang akan diutarakan pria itu.
"Ada bubur ayam di meja makan kalau kamu mau sarapan, tadi pagi saya beli setelah joging."
Mentari berusaha mendeteksi nada sinis atau bahkan ejekan, namun nihil. "Nggak usah. Saya mau langsung ketemu kakek," ujarnya singkat.
Reyhan mengangguk singkat, lalu berdiri sambil melipat koran. Tanpa mengatakan apapun, ia melangkah ke pintu keluar. Mentari membuntuti, tangannya menenteng tas ransel butut yang sejak semalam ia bawa.
Ketika akhirnya sampai di gerbang rumah milik Darma, Reyhan lah yang kali ini memencet bel.
Mentari sendiri berdiam di belakangnya, secara tidak kentara menghela napas pelan. Ketika akhirnya pintu dibuka, yang muncul adalah seorang ibu-ibu.
"Mbak, Om Darma ada? Cucunya datang," ujar Reyhan sambil menunjuk Mentari.
Ibu itu seketika membelalak. "Cucunya Tuan Darma? Mentari? Ya ampun, mari masuk. Saya panggilkan tuan ya."
Mentari mengerutkan kening bingung. "Kalau ada pembantu, kenapa semalam nggak dengar waktu aku gedor-gedor?"
"Mbak Sari cuma datang dua hari sekali untuk bebersih dan masak. Jam kerjanya pun mulai dari pagi sampai sore, lalu pulang. Jadi kalau malam Om Darma memang selalu sendirian." Reyhan pasti membaca kebingungan di wajah Mentari. Gadis itu sendiri hanya mengangguk sebagai respon atas penjelasannya.
Langkah mereka yang baru memasuki gerbang, seketika disambut langkah tergopoh dari dalam. "Riri!"
Pria tua itu berjalan dengan tongkat sebagai tumpuan, tampak tertatih kepayahan. Namun binar dalam matanya tidak mungkin terlewat. Langkahnya berhenti di depan Mentari yang kini mematung.
Air mata sudah merebak di mata tua pria itu, namun senyum merekah begitu lebar. "Kamu datang, Nak. Kamu masih ingat kakek."
Darma merangkulkan kedua tangannya, menepuk pelan bahu Mentari yang masih terdiam.
Reyhan menatap interaksi tersebut dengan pengamatan mendalam. Bocah itu bahkan masih belum juga bereaksi atau menyapa kakeknya.
Darma melepaskan pelukan, mengamati Mentari dari atas sampai bawah lalu mengalihkan pandangan pada Reyhan yang sejak tadi diam. "Rey, kenapa Mentari bisa datang sama kamu?"
"Dia semalam gedor-gedor rumah Om, tapi Om sudah tidur. Jadi Pak RT kasih saran supaya dia menginap di rumah saya."
Darma seketika membelalak, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Mentari. "Astaga, maafin kakek ya, Ri. Kakek nggak dengar. Telinga kakek ini memang sudah parah." Ia kembali menoleh pada Reyhan. Pegangannya pada Mentari akhirnya terlepas, lalu meraih tangan Reyhan untuk dijabat. "Terima kasih ya, Rey. Maaf kakek jadi nyusahin kamu."
"Nggak masalah, Om. Bukan hal besar."
"Aku mau istirahat."
Satu kalimat itu membuat perhatian semua orang teralih. Untuk pertama kalinya sejak kembali menginjakkan kaki ke halaman rumah tersebut, akhirnya Mentari buka suara.
Dan itu bahkan bukan sapaan yang normal.
"Ah, iya. Kamu pasti lelah. Maafin kakek ya, gara-gara kakek semalam kamu jadi kurang istirahat." Darma mengalihkan perhatian pada Sari yang sedari tadi diam di dekat pintu. "Sari, tolong antarkan Riri ke kamarnya yang lama. Kamu tahu kan dimana? Bantu Riri beres-beres, atau apapun yang dia butuhkan."
Sari mengangguk hormat. Namun Mentari mengabaikan mereka semua dan segera masuk tanpa menunggu diantar. Gadis itu bahkan tidak menoleh lagi pada Reyhan.
Pria itu sendiri menutup mulutnya rapat-rapat, namun pandangannya menyipit menatap punggung Mentari yang sudah menghilang di balik pintu. "Maaf ya, mungkin Mentari masih gugup. Soalnya dia sudah sangat lama nggak main kesini," ujar Darma sambil tersenyum sedih.
"Bukan alasan untuk bersikap dingin pada kakeknya sendiri." Reyhan tidak bisa menahan mulut pedasnya, membuat Darma meringis kecil.
"Sekali lagi om minta maaf atas sikap mentari. Tapi ... mungkin itu ada hubungannya apa yang sudah dialaminya selama ini sampai berubah begitu drastis."
"Maksud Om?"
Darma menghela napas, tampak lelah. "Saya sudah pernah bilang kan, Irma meninggal sudah cukup lama. Tepatnya saat itu Mentari berusia sekitar 4 tahun. Setahun kemudian ayahnya menikah lagi, sejak itu Mentari jarang main kesini. Lalu ... ketika ulang tahunnya yang ke 8, dimana biasanya dia datang kemari, Mentari dan ayahnya nggak pernah datang lagi."
Punggung ringkih Darma tampak menunduk, seakan menopang beban yang begitu berat.
"Saya berusaha mencari info, tapi keberadaan Mentari seakan disembunyikan." Pandangannya kembali diarahkan pada pintu yang masih terbuka. "Saya yakin, pasti terjadi sesuatu yang merubah Mentari hingga begitu drastis."
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)