Dear, Jantung.
Tugasmu itu cuma memompa darah ke seluruh tubuh.
Nggak usah sok kegenitan sama om-om deh!
Reyhan menatap keranjang yang masih teronggok manis di depannya. Untuk pertama kali dalam hidup, seorang Reyhan Windarta galau karena buah jambu. "Dimakan? Dijus? Apa dibuang aja sekalian?"
Kalau Devon tahu hal ini, pasti akan memanggil psikiater untuk memastikan apakah ayahnya masih waras atau tidak. Bahkan menantunya, Lafy, bisa-bisa minta supaya Reyhan diramal oleh 'Madam Ra' untuk memastikan bahwa dia tidak sedang kemasukan roh halus.
Padahal semua keadaan anehnya ini hanya dipicu oleh seorang gadis kecil menyebalkan.
Reyhan kembali mendongak ke arah perbatasan pohon jambu dan pohon mangga tetangga sebelah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi, dan Mentari tidak juga kelihatan batang hidungnya.
Well, sesuai dugaan. Ditunggu sampai pagi pun, Mentari tidak akan datang. Reyhan tahu itu, tapi dengan tololnya ia masih menunggu.
Jengah dengan keadaannya sendiri yang aneh, pria itu akhirnya mengangkat keranjang buah dan beranjak dari gazebo.
Mungkin tidur akan lebih menyegarkan otak.
***
"Kakek nyuruh saya kasih ini." Mentari menyodorkan sebuah bungkusan, yang diterima Reyhan dengan sangsi.
"Cokelat dan keju?"
Mentari mengangguk sekilas. "Dapat kiriman dari temannya. Ada banyak, jadi suruh bagi ke Om. Saya permisi." Gadis itu segera berbalik, namun berhenti ketika lengannya dicekal Reyhan.
"Kamu mau kabur sampai kapan?"
"Siapa yang kabur coba?"
"Buah jambu kamu!"
"Saya nggak punya jambu."
"Itu yang sekeranjang di kulkas saya apaan? Semangka?!"
"Tau deh, kulkas situ, bukan kulkas saya ini."
Kesal, Reyhan menyugar kasar rambutnya sendiri, lalu mendengus pelan. "Oke, saya minta maaf."
Mentari akhirnya menoleh dan menatap lurus pada pria itu, menelisik kesungguhan Reyhan.
"Maaf karena saya sembarangan gendong kamu kayak karung beras kemarin."
Rasa geram kembali melingkupi, padahal tadi Mentari sudah hampir luluh. "Ter-se-rah!"
Ia hendak melangkah pergi, namun lengannya tetap dicekal oleh Reyhan. "Sebenarnya apa yang membuat kamu sampai semarah ini?" tanya pria itu.
Mentari berbalik memelototinya, tapi kemudian tertegun. Ada sesuatu dalam tatapan Reyhan. Seperti menunggu jawaban, menantangnya untuk menjawab dengan jujur.
Sedangkan Mentari sendiri tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Apakah ia marah hanya karena buah jambunya mau diberikan pada Anilla?
Bukankah itu konyol? Kekanak-kanakkan?
"Saya nggak suka Om kasih buah yang saya petik dengan susah payah seenaknya ke orang lain," aku Mentari akhirnya.
Reyhan menatapnya semakin dalam, entah kenapa membuat jantung Mentari berdetak lebih cepat karenanya. "Saya juga minta maaf soal itu. Tapi buah jambu kamu masih utuh di kulkas. Anilla nggak jadi ambil."
"Tetap aja, Om dengan gampang ngasih gitu aja kan?" tukas Mentari masih tidak terima, nyaris merajuk seperti anak manja yang kehilangan boneka.
"Iya, makanya saya minta maaf. Dan saya nggak akan ulangi lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)