Seriously though, what are we?
"Om?"
Mentari tidak sempat lagi menanyakan apa pun karena wajahnya mendadak tertutup selembar handuk.
Dengan terpaksa ia bungkam sementara Reyhan mengusap lembut wajahnya, membersihkan sisa-sisa make up yang menempel di segala sisi.
Gadis itu bersimpuh di lantai dengan alat make up bertebaran di sekitar. Wajahnya berantakan, bahkan riasan di sudut mata dan bibir telah luntur akibat air mata.
Seharusnya pemandangan itu terlihat lucu. Mungkin kalau orang lain yang melihatnya akan tertawa karena Mentari terlihat seperti badut.
Namun Reyhan tidak merasa terhibur sedikit pun.
Pemandangan Mentari yang menangis seperti orang patah hati sama sekali bukan lelucon baginya.
Mentari sendiri hanya bisa terdiam kaku. Rasanya sungguh memalukan, entah apa yang dipikirkan pria itu saat ini. "Dia mungkin menganggapku cuma bocah bandel yang lagi mainan make-up," batin Mentari.
"There you are," gumam Reyhan sesaat kemudian. "My little girl."
Degup jantung Mentari memburu seketika.
Reyhan menatapnya lembut, tanpa ekspresi kesal atau menghakimi sedikit pun. Dan apa kata Reyhan barusan? "My little girl"? Air mata Mentari kembali merebak dan Reyhan mendesah pelan.
"Apa yang bisa saya lakukan supaya kamu berhenti menangis?"
Dengan berani, Mentari mengulurkan dua lengan. Balasan Reyhan adalah menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
Merasa tertolak, gadis itu seketika menunduk malu sambil menurunkan kedua tangannya.
Ia tahu bahwa tidak boleh mengharapkan keberuntungan berturut-turut. Sudah cukup bahwa tadi malam Reyhan bersedia memeluknya dalam diam, membiarkan Mentari berpura-pura bahwa perasan absurdnya berbalas.
"Bahkan sekarang dia ada di sini bersamaku, bukan sama Tante Anilla. Mentari, kamu nggak boleh ngelunjak!"
Namun membuatnya terkejut, ketika tubuhnya mendadak direngkuh dalam sebuah pelukan.
Rasanya begitu tepat. Hangat. Dan aman. Seakan lengan kekar pria ini memang ditakdirkan untuk menjadi tempatnya berlindung.
Reyhan tidak mengatakan apapun. Ia hanya membiarkan dirinya menikmati momen ini, mendekap gadis kecil itu tanpa mengkhawatirkan penilaian dunia. Setidaknya untuk sekarang.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Reyhan beberapa saat kemudian, masih sambil mendekap Mentari.
Mentari mengangguk pelan. "Om kok udah pulang? Pestanya pasti belum selesai kan?"
"Saya punya firasat bakal ada yang nangis kalau saya pergi kelamaan. Ternyata benar."
Kali ini Mentari tersenyum di dadanya. "Jadi Om pulang karena saya?"
Reyhan terkekeh kecil di rambut gadis itu. "Senang?"
Mentari mengubur diri semakin dalam di pelukan Reyhan, terlalu malu untuk menjawab pertanyaannya.
"Bisa temani saya makan? Saya lapar, kamu juga belum makan kan?"
"Om belum makan tadi di pesta?" Kali ini Mentari sedikit mendongak, lalu celingukkan mencari jam. Benar saja, waktu menunjukkan bahwa Reyhan baru pergi sekitar 1 jam yang lalu.
"Saya cuma 5 menit di sana, nggak sempat makan." Reyhan bangkit, mengulurkan tangan yang disambut Mentari. "Kamu mau makan apa?"
"Hmm ... McD," pinta Mentari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)