You found my wound.
You trying to heal me.
But baby, it was me who gonna hurt you instead.
"Mama saya meninggal sewaktu saya umur 4 tahun. Om tahu kan?"
Reyhan bergumam pelan sebagai jawaban. Suara Mentari lirih, dan Reyhan tidak mau melewatkan apapun karena suara jawabannya sendiri.
"Papa membenci saya setelah mama meninggal. Dia ... menyalahkan saya. Bagi papa, saya lah yang penyebab mama meninggal."
Reyhan meremas buku-buku jarinya sendiri. "Itu bukan salah kamu."
Mentari tersenyum kecut. "Mama kecelakaan karena menjemput saya yang sedang di play group. Jadi ya, itu salah saya."
Pria sinting mana yang menyalahkan anaknya atas kematian sang istri, padahal itu sama sekali bukan kesalahan si anak? Reyhan harus mengingatkan diri bahwa Andi sekarang sudah mati, kalau tidak ....
Mentari menghela napas berat, menyadarkan Reyhan dari amarahnya. "Sejak mama nggak ada, papa menjauh. Dia jadi sering keluar kota, bahkan keluar negri. Saya hidup cuma sama pengasuh."
"Suatu hari, papa pulang sama seorang perempuan. Saya masih ingat kesan pertama saya sewaktu melihat perempuan itu." Ia terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Cantik, tapi menakutkan. Saya cukup sering baca dongeng anak-anak untuk beranggapan kalau wanita inilah 'calon ibu tiri jahat'."
Senyum pahit terbentuk di bibir gadis itu. "Ternyata anggapan saya benar. Nggak lama kemudian mereka menikah. Perempuan itu tidak menyiksa atau berlaku kejam pada saya. Dia ... cuma meniru perlakuan papa. Mereka mengabaikan saya, seakan saya nggak ada di rumah itu. Tapi mereka juga membatasi setiap pergerakan saya. Saya jadi nggak boleh main kemana-mana, bahkan ke rumah kakek pun nggak boleh sering-sering. Cuma boleh sekolah lalu pulang."
Mentari merubah posisi duduknya, membebaskan diri dari Reyhan. Ia bertopang dagu sambil memeluk lutut. "Suatu hari ada pertunjukan di sekolah. Setiap murid harus menampilkan satu pertunjukan, dan orang tua harus hadir. Saya ... membuat puisi tentang papa dan mama, lalu membacakannya di panggung."
Gadis itu mendenguskan tawa kecil. "Sepertinya hati papa tergerak karena puisi itu. Dia memeluk saya begitu turun panggung. Kami menangis, dan papa bahkan berjanji akan mengajak saya jalan-jalan besok."
Mentari memeluk dirinya makin rapat, dan Reyhan tidak yakin apakah cerita ini akan mengarah ke bagian yang lebih baik.
"Keesokan harinya, sepulang sekolah saya menunggu dijemput papa di depan gerbang." Mentari tampak gemetar sekilas, Reyhan menahan diri untuk tidak menariknya dalam pelukan. "Tapi ... papa nggak pernah datang. Dia dirampok sewaktu dalam perjalanan menjemput saya. Mobilnya dibawa kabur, papa dipukuli dan meninggal di tempat."
Gadis itu membersut sudut matanya, barulah Reyhan sadar ada setitik kilauan air mata di sana.
"Mama tiri saya semakin membenci saya setelahnya. Dia menganggap saya penyebab kematian papa."
"That's a bullshit!" maki Reyhan.
"Mungkin mereka benar. Mungkin saya memang pembawa sial."
"Cukup, Mentari!"
Mentari menggeleng pelan. "Mama tiri saya menggunakan semua peninggalan papa untuk membeli sebuah rumah mewah. Sepertinya dia sengaja, supaya bisa meninggalkan rumah lama kami. Dan setelah saya dewasa, saya jadi berpikir bahwa dia juga melakukannya untuk menghibur diri. Untuk membuktikan bahwa setelah papa saya meninggal pun dia masih bisa bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)