Mencintai itu memang penuh resiko.
Tapi apa artinya hidup tanpa resiko?
"Saya nggak ngerti apa maksud Anda." Mentari memasang wajah sedatar mungkin. Dalam hati ia membuat penilaian tentang Danar Danurija.
Pria ini setidaknya berusia awal 30-an atau akhir 20-an. Jadi sebenarnya tidak cocok memanggil Mentari dengan sebutan 'Kakak'. Tapi sepertinya itu bukan poin yang perlu Mentari bicarakan saat ini.
"Saya yakin Kakak Ipar tahu jelas apa maksud saya." Danar menjalin jemarinya, menatap penuh spekulasi pada gadis itu.
Mentari tetap bungkam. Alih-alih menanggapi interogasi tidak berguna ini, Mentari akhirnya menimbang keadaan di sekitarnya.
Ini sarang mereka. Walau yang muncul saat ini hanya seorang boss dengan tiga pengawal, tapi Mentari yakin mereka cukup terlatih.
"Kira-kira berapa persen kesempatanku untuk bisa menghajar mereka lalu kabur?"
Namun sebelum perhitungannya untuk kabur terwujud, seorang pria lain mendadak masuk sambil menggengam ponsel. Pria itu berbisik sekilas pada Danar, kemudian menyodorkan ponsel.
Danar bergumam sekilas sebagai sapaan, lalu kembali menatap Mentari. Pria itu terdiam sesaat, tampaknya mendengarkan ucapan dari ujung telepon.
"Saya hanya ingin kebenaran. Kalau memang gadis ini tidak bersalah, maka tidak masalah kan saya menanyakannya?"
Pria itu kembali terdiam, mendengarkan dengan seksama lawan bicaranya.
"Yeah."
Lalu ia kembali terdiam beberapa saat.
"Okay ...." Danar mengangguk sekilas. "I see."
Lalu pria itu mengulurkan ponsel ke Mentari, yang diterimanya dengan ragu-ragu. "Halo?"
"Hai, Adik Kecil. Tenang aja, setelah ini lo bakal bebas, Udah ada mobil yang jemput lo untuk balik ke rumah bokap. Jeep warna hitam. Nama pengemudinya Arga. Nanti gue chat nopolnya ke handphone lo. Keluar gerbang, langsung masuk mobil. Paham?"
Itu suara Devon, dan Mentari seketika lega mendengarnya. "Oke."
***
Pria yang menjemputnya tidak mengatakan apapun sepanjang perjalanan. Tapi Mentari tidak melewatkan tatapan penasaran yang sesekali dilemparkan pria itu.
Arga, kalau tidak salah itu namanya. Mentari tidak berani bicara sedikit pun dengannya. Kalau sesuai kata Reyhan bahwa keluarganya masih termasuk golongan mafia, berarti pria yang sedang menyetir ini juga anggota mereka.
Mentari mendengus pelan. Sudah sejauh ini ia kabur, tapi sepertinya hidup Mentari memang tidak akan bisa jauh dari dunia kriminal.
"Gue boleh panggil lo Mentari atau harus panggil boss kecil?" tanya Arga tiba-tiba.
"Boss kecil?" Mentari menatapnya bingung.
"Si boss bilang lo udah dianggap kayak adeknya sendiri, jadi ...." Arga mengangkat bahu.
"Tunggu, si boss ini maksudnya Kak Devon?"
Arga mengangguk sebagai jawaban.
Mentari memutar mata. "Panggil Mentari aja," ucapnya.
Arga mengangguk-angguk tanda paham. "Sory kalau gue yang jemput lo. Ini semacam ... etika antar kelompok. Kalau sampai para bos sendiri yang jemput tawanan, takutnya bisa dianggap ajakan perang."
Mentari sungguh tidak tahu harus bereaksi seperti apa mendengarnya. "Oke, sory juga karena harus ngerepotin lo."
Arga akhirnya terkekeh pelan. "No need, lumayan juga bisa kabur. Bu boss lagi nyidam macem-macem di rumah, gue mendingan disuruh gini daripada jadi korban nyidamnya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)