Bab 18

3.1K 530 57
                                    

Aturan dari Mentari untuk Reyhan:

Selalu sedia minuman selain alkohol dan air putih di dapur.

Susu atau cokelat misalnya?

"Seharusnya aku bikin aturan supaya si om nggak pergi tanpa ijin dariku. Sama siapapun, baik perempuan ataupun laki-laki."

Mentari menyesap cokelat hangatnya, lalu mendengus pelan. Malam ini bulan tampak menggantung rendah. Suara gemericik air dari kolam kecil dan angin yang berhembus pelan seharusnya memberikan suasana tenang seperti biasa.

Namun dengan fakta bahwa Reyhan pergi menemui Danar, ketenangan sama sekali tidak ada. Mentari sudah mondar mandir dan nyaris menyusul Reyhan ke rumah Danar, kalau saja tidak ada mobil Arga yang berjaga di luar rumah.

"Si om berani masang sipir buat ngurung aku!" Mentari kembali mendengus pelan dan lagi-lagi menyesap cokelat hangatnya.

"Aura di sini gelap banget."

Suara itu membuat Mentari menoleh. Matanya menemukan sosok siluet yang tersembunyi bayangan.

Ia ingin berlari dan menyentuh sosok itu.

Ia ingin memeluk dan menghirup aromanya, mencari ketenangan yang hanya bisa ia dapatkan dari pria ini.

Ia ingin memastikan bahwa Reyhan utuh dan sehat, tanpa luka sedikit pun.

"Dia berhak atas kejujuran dari lo." Sayangnya ucapan Gilang terngiang tepat di saat seperti ini. Sial.

Jadi Mentari menahan semua keinginannya. Ia tetap duduk di tempat dan tidak melepaskan pandangan sedikit pun dari Reyhan.

"Saya baik-baik saja." Sosok itu perlahan mendekat dengan kedua tangan di saku celana. Mentari memindai dari atas ke bawah untuk memastikan ucapannya.

Reyhan tampak sama persis seperti ketika tadi berangkat. T-shirt putih, celana jeans dan jaket kulit. Tidak ada noda atau jejak luka sejauh ini.

Dan ya, Reyhan Windarta masih luar biasa tampan dan seksi seperti biasa.

Bagaimana pria berusia 40-an bisa tetap terlihat seksi dengan jaket kulit, Mentari pun bertanya-tanya.

Beberapa detik berlalu, Mentari akhirnya rileks. Ekspresi Reyhan tidak menyembunyikan kesakitan apapun, justru ekspresi lembut yang membuat kupu-kupu kembali berterbangan di perut Mentari.

"Kami pernah kerja sama sewaktu di luar negri, saya sudah bilang kan? Danar tidak akan sebodoh itu menyerang saya."

Mentari mengangguk kecil. "Lalu, apa yang dia mau?"

"Cuma jawaban."

Mentari memutar mata sambil mendenguskan tawa rendah. "Soal apakah saya membunuh Dennis atau nggak?"

"Dia sudah tahu sejak lama tentang kamu membunuh Dennis. Danar tidak peduli itu."

Mentari menatapnya dengan alis terangkat. "Abangnya mati dibunuh oleh perempuan simpanan sepertiku, dia nggak peduli?"

Reyhan menggeram rendah. "Jangan menyebut diri kamu seperti itu, Mentari," tukas Reyhan penuh peringatan, lalu melanjutkan. "Sekedar info, Danar membenci abangnya sendiri. Dennis selalu menjadi pembuat onar di keluarga, jadi Danar tidak terlalu kaget kalau abangnya berakhir dengan dibunuh orang. Satu-satunya alasan dia menanyai kamu seperti itu adalah untuk mengawali pertanyaan utamanya."

Mentari menatap bingung. "Pertanyaan utama?"

"Bagaimana kronologisnya. Apa saja bukti kejahatan Dennis yang kamu ambil. Dan apakah kamu akan mempublikasikannya."

Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang