Bab 13

2.6K 480 61
                                    

Saya lupa hari ini mau update. Peaceee wkwkwk

Tapi jangan lupa vote dan komen yaa. Sampai jumpa

************************************************************************************

The truth may be ugly,

but would you rather choose the pretty lies instead?

Lorong itu tampak suram. Terlepas dari penerangan yang sengaja dimatikan pada siang hari, seharusnya cahaya matahari yang masuk dari jendela-jendela besar cukup mencerahkan. Sayangnya, cahaya-cahaya itu pun tidak cukup mengalahkan hawa muram yang dibawa penghuninya.

Lantai marmer berwarna putih, tembok putih dengan berbagai poster, serta aroma khas memuakkan yang menusuk hidung.

Mentari benci tempat ini.

"Itu wajah ditekuk melulu, Beb," sindir Gilang yang berjalan di sisinya.

Bukan dia yang dipaksa datang kemari, Mentari harus mengingatkan diri untuk tidak menonjok pemuda itu.

Langkah mereka berhenti begitu sampai di depan salah satu pintu. Setelah satu ketukan singkat, Gilang membuka pintu tanpa menunggu ijin.

Seorang pria setengah baya mendongak dari sebuah buku di hadapannya. "Mentari, silahkan duduk." Ia menunjuk salah satu dari dua kursi di depan meja.

"Papa, yang disapa Mentari doang," keluh gilang seraya mendudukkan diri di kursi depan papanya.

"Kamu nggak disapa juga masuk dan duduk seenaknya," balas papanya dengan telak, lalu mengalihkan fokus pada Mentari yang sedari tadi masih tutup mulut. Ia menghela napas sekilas. "Wajah kamu pucat dan kamu semakin kurus. Itu juga kantung mata, sengaja begadang atau karena insomnia?"

"Begadang," jawab Mentari singkat.

"Oke, mari kita mulai kalau begitu."

***

"Ayolah, Darma. Kapan lagi kita bisa ikut andil dalam pertandingan catur seperti ini? Bukannya dulu kamu bilang mau ikut?"

Langkah Mentari yang baru memasuki rumah terhenti ketika melihat sebuah mobil dan tamu tak dikenalnya. Pria dengan kepala nyaris botak itu tampak sama tua dengan kakeknya, mungkin salah satu teman lama pria itu.

"Kakek," sapa Mentari sembari mendekat.

"Riri," balas kakeknya. "Perkenalkan, ini sahabat sekaligus teman main catur kakek dulu. Panggil aja Eyang Didit."

Pria tua itu menyalami Mentari sambil meneliti penampilannya. "Ini toh cucumu? Sudah besar. Tidak apa kan kalau ditinggal sendirian? Toh hanya seminggu."

"Emang kakek saya mau diajak kemana?"

"Ada pertandingan catur di Malaysia. Kami berdua diundang sebagai juri tamu. Kakekmu dulu sudah bilang mau, makanya pihak sponsor sudah mendaftarkan dia. Tapi ini tadi malah nolak, katanya kasihan cucunya sendirian di rumah," jelas Eyang Didit.

"Kakek nggak apa emangnya perjalanan jauh? Seminggu lho," ujar Mentari khawatir.

"Kakek sih kuat-kuat aja, Ri. Tapi kamu nanti sendirian di rumah. Emang nggak apa?"

Mentari tersenyum, kakeknya mungkin masih menganggap Mentari bocah kecil yang dulu. "Riri udah gede, Kek. Tenang aja," ujarnya. "Emang Kakek mau banget ke pertandingan itu?"

Sorot mata kakeknya langsung berbinar ketika bicara. "Sudah lama sejak kakek diundang jadi juri tamu gini, pesertanya kali ini juga keren-keren lho."

Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang