Bab 3

3.4K 476 20
                                    

"Bukan waktu yang merubah manusia, kejadian di antara rentang waktu itulah pemicunya."

Mentari 5 tahun

"Kakek! Riri datang!"

"Eh, cucu kakek datang. Ayo sini, mau makan apa? Mie ayam? Nasi Padang? Atau bakso langganan kita?"

"Mau es krim."

"Hahaha. Kan kakek nggak kasih pilihan es krim."

"Tapi Riri pengen es krim, Kek."

"Makan dulu, es krim nya nanti."

"Horeee! Kalau gitu, Riri mau Mie ayam. Terus nanti beli es krim ya, Kek."

"Siap, Tuan Puteri!"

***

"Kakek, Riri datang."

"Riri kangen kakek. Maaf ya, baru datang sekarang."

"Kakek apa kabar?"

Gadis itu menatap bayangannya pada cermin. Dialog-dialog yang ia bisikkan barusan begitu sederhana, harusnya mudah untuk diucapkan.

Namun yang terjadi tadi, ia justru mematung tanpa suara. Alih-alih menyapa dengan hangat, yang keluar justru kalimat bernada dingin dan acuh.

"Bahkan untuk bersikap pura-pura normal pun aku gagal."

Mentari tersenyum miris, menertawakan sikap kikuknya. Ia menempelkan kening ke permukaan kaca, berharap dinginnya benda itu bisa meredakan rasa kalut yang kini mulai menghampiri.

"Maafin Riri ya, Kek. Kasih Riri waktu, supaya bisa kembali jadi cucu kakek yang dulu."

***

Tempat tidur yang semalam ditempati gadis itu tampak rapi, artinya sudah ditata ulang.

Perlengkapan mandi yang semalam diletakkan Reyhan diam-diam, hingga pagi ini pun masih tersegel. Jelas belum digunakan sama sekali. Kemungkinan, Mentari menggunakan perlengkapan mandi yang ia bawa di dalam tas.

Mentari tidak tahu, bahwa semalam Reyhan mengetuk pintu kamar tamu untuk menyerahkan perlengkapan mandi. Namun karena tidak kunjung dibuka, pria itu akhirnya nekat menelusup masuk dan cepat-cepat meletakkan perlengkapan di kamar mandi.

Ketika hendak keluar, tanpa sengaja tatapannya jatuh pada sosok yang bergelung di tempat tidur.

Hoodie dan sepatu bututnya sudah dilepas, sementara kaos dan jeans belel masih terpasang. Bahkan dalam tidur pun, gadis itu tidak tampak tenang seperti seharusnya. Ada kerutan di kening, bibir mengatup rapat, posenya juga tidak rileks sedikit pun.

"Saya yakin, pasti terjadi sesuatu yang merubah Mentari hingga begitu drastis." Ucapan Darma kembali terbayang di benak Reyhan.

Menurut Darma, sejak ulang tahun yang ke-8, Mentari tidak pernah datang. Berarti sudah 11 atau bahkan 12 tahun berlalu. Sebuah rentang yang cukup panjang untuk 'sesuatu' apapun itu terjadi.

Reyhan menghela napas pelan. Tugasnya hanya menampung Mentari selama semalam, lalu memulangkannya. Dan tugas itu sudah ia selesaikan.

"Masa bodoh. Anak itu bukan urusanku," putus Reyhan pada akhirnya.

***

"Lafy sudah memperhitungkan penghasilan yayasan. Ayah sudah terima laporannya?" Suara Devon, putra tunggal Reyhan terdengar melalui headset.

Reyhan menghentikan larinya untuk menjawab. "Ya, ayah setuju dengan ide kalian. Selama ini yayasan kita memang sudah cukup berkembang. Sekarang, anak-anak panti yang sudah cukup dewasa bahkan sudah bisa kita lepas sendiri. Lafy benar, kita bisa menambah satu cabang lagi sebagai panti. Anak-anak yang berpotensi menjadi pengurus boleh bekerja di cabang yang baru asalkan mereka bersedia."

"Bersedia? Mereka bahkan sangat antusias. Anak-anak itu sangat bersemangat kalau bisa bergabung untuk membantu di panti asuhan yang baru. Bu Katrina tadi diam-diam memvideo pembicaraan mereka dengan Lafy lalu mengirimkannya padaku. Nanti kukirimkan pada ayah."

Reyhan terkekeh pelan. Kebaikan hati Lafy, menantunya, sudah tersebar di antara semua cabang Yayasan Sosial Windar. Bukan suatu kejutan kalau ide memperluas bahkan menambah cabang panti diterima dengan baik.

Sama seperti ide pemberian modal kepada anak-anak yang berpotensi dalam hal wirausaha, Lafy memang pintar membaca karakter dan kemampuan orang.

"Bagaimana dengan bisnis kita yang lain?" Kali ini Reyhan bertanya dengan suara lebih rendah.

Devon seketika mengerti. "Kasus exportir kayu sudah selesai. Mafia penjarah itu kini ada dalam genggaman kita. Mereka sudah berhenti, dan akan segera bekerja sama dengan pihak negara sehingga keuntungan akan dibagi secara adil."

"Bagus. Memenjarakan mereka akan jadi kerugian bagi kita, mereka sebetulnya punya insting bisnis yang lumayan. Hanya perlu diluruskan saja."

"Benar. Urusan De Dood juga lancar, Raja memantau segalanya. Lalu ada kasus baru lagi yang masuk. Perdagangan wanita. Dalam negeri, antar pulau."

Reyhan mendesah pelan. "Ajak Kelompok Widodaren untuk bekerja sama."

"Tentu, mungkin aku juga akan menghubungi Nesia kalau diperlukan."

"Ide bagus."

Memiliki dua 'bisnis' membuat Keluarga Windarta makmur selama beberapa generasi terakhir. Reyhan sendiri sudah mendidik putranya sejak kecil untuk melanjutkan bisnis tersebut.

Sama seperti ayahnya, Devon memiliki insting alami dalam hal penyelidikan. Reyhan pasti akan mencegah agar putranya tidak terlibat bahaya kalau saja anak itu menolak menjadi bagian dari bisnis ini. Namun justru sebalikya, Devon menikmati bisnis sampingan tersebut.

"Bagaimana kabar di sana? Sudah sangat lama aku tidak pernah datang. Apakah penduduk lama masih ada?"

"Memangnya siapa saja yang kamu ingat di sini?"

"Kakek Darma, Tante Irma, Tante Anilla, Om Willy ... oke, kurasa hanya itu."

"Tante Anilla dan Om Willy masih ada. Tante Irma ... sudah meninggal sejak bertahun-tahun lalu. Kecelakaan mobil. Kakek Darma masih ada," jelas Reyhan, lalu menambahkan sebelum ia lupa. "Mentari juga ada."

"Mentari siapa?"

"Anak Tante Irma."

"Oh, cucu Kakek Darma yang cengeng itu? Dulu Tante Irma pindah untuk tinggal bersama suaminya kan?"

"Ya, tapi sekarang Irma sudah meninggal dan Mentari kemarin datang. Ngomong-ngomong, ayah jadi ingat. Kamu yang selalu membuat ayah harus memohon maaf pada Irma gara-gara hobby kamu mengerjai Mentari!"

"Hahaha! Bagaimana dia sekarang? Masih cengeng?"

"Entahlah, sepertinya tidak. Dia sudah besar. Kalau kamu ingat, hitung saja dengan selisih usiamu sendiri."

"Aku 26. Jadi Mentari sekarang ... sekitar 19?"

"Tepat."

Devon berdecak pelan. "Sudah terlalu besar, tidak bisa kukerjai lagi."

Reyhan mengulum senyum. "Lafy akan mencincangmu kalau menggoda anak gadis orang."

"Benar." Devon juga ikut tersenyum, Reyhan bisa mendengar dari suaranya. "Sampaikan saja salamku pada Kakek Darma dan Mentari. Kapan-kapan aku ajak Lafy main kesana."

"Tentu." Reyhan mematikan sambungan. Ia tidak perlumenambahkan bahwa Mentari pasti tidak akan mengenali Devon, biar saja dua bocahitu berkenalan dari awal.


TBC

*************************************************************************************

Sekali lagi saya peringatkan ya, ini memang cerita dengan tema age gap, alias rentang usia yang jauh. Bisa kalian hitung kasar ya, di sini Reyhan sudah 44 tahun sedangkan Mentari 19 tahun.

Jadi, bagi yang kurang nyaman, sebaikanya hindari lapak ini. Terima kasih ;)

Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang