Kamu boleh anggap saya tempat sampahmu,
itu pun kalau kamu mau.
"Skak, mat!"
"Well, saya memang sudah terjebak kali ini."
Darma terkekeh pelan, sementara Reyhan membereskan permainan catur mereka.
"Lanjut temani saya nonton badminton di TV? Ada Indonesia lawan Korea hari ini."
"Boleh."
"Kalau gitu biar saya panggilkan Riri. Dia juga suka kalau badminton." Darma bangkit dari duduknya, namun kemudian berkata, "Tapi nanti dulu ya. Saya mau ke kamar mandi sebentar. Mungkin karena kebanyakan makan browniesnya Riri tadi. Kamu sendiri habis makan kue itu, nggak apa kan?"
"Kue?"
"Iya, brownies. Tadi Riri yang bikin, terus saya suruh bawakan ke rumah kamu. Memangnya nggak dia kasih?"
Reyhan mengangkat bahu. "Mungkin dia takut saya sakit perut kayak Om."
"Hahaha, dasar kamu ini. Sebentar ya, saya ke kamar kecil."
Reyhan mengangguk, lalu merenung setelah Darma menghilang.
Ia sudah bertanya-tanya, apa tujuan Mentari yang sebenarnya ketika tadi datang. Setelah seminggu gadis itu menghindar, melihat Mentari hari ini menimbulkan rasa lega sekaligus kesal di saat bersamaan.
Dan Reyhan bingung dengan perasaan yang bertolak belakang namun campur aduk seperti itu. Itu bukan rasa yang biasa ia hadapi.
Ia memang kesal karena Mentari menghindarinya, dan sebagai akibat, reaksinya tadi jadi ketus. "Beraninya dia datang tapi nggak kasih kue itu."
Reyhan pun bangkit, lalu berjalan ke lantai dua. Setelah mengetuk singkat pintu kamar paling ujung, ia bersidekap tenang.
***
Mentari berguling-guling bosan. Waktu baru menunjukkan pukul setengah 8 malam, kemungkinan besar Reyhan belum akan pulang. Dan lagi-lagi ia harus mengurung diri, bersembunyi seperti pengecut.
Ia rindu halaman belakang tetangga.
Ia rindu ketenangan dan kedamaian yang biasa ia dapati di sana.
Dan bodohnya, ia rindu kebersamaan dengan seseorang yang bahkan tidak punya hubungan apapun dengannya.
Pintu kamar diketuk, menyadarkan Mentari dan membuatnya waspada. Ia kembali melirik jam, kemungkinan kakeknya mengajak nonton badminton yang hari ini memang jadwalnya akan segera main.
"Sial, aku harus bilang apa buat menghindar?"
Mendesah pelan, gadis itu akhirnya bangkit dan membuka pintu. Lalu tertegun. "Om?"
"Kue brownies jatah saya mana?" todong Reyhan.
"Hah?" Mentari mengerjap sejenak, butuh sedetik untuknya paham. "Kakek bilang ya?"
Reyhan mendengus pelan sebagai jawaban.
"Di dapur," ujar Mentari akhirnya. Reyhan tetap diam bersidekap. Mentari akhirnya mengalah dan turun ke dapur, lalu membuka kulkas untuk mengeluarkan brownies yang masih terbungkus kotak makan. Sepanjang waktu itu, Reyhan membuntutinya.
Pria itu menerima kotak, membukanya lalu segera melahap sepotong kue. Ia terdiam sejenak, dan Mentari menanti dengan was-was. Ketika akhirnya Reyhan mengangguk, barulah Mentari menghela napas lega. Ia berbalik mengambil segelas air lalu meletakkan di meja depan Reyhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)