Kita adalah ilusi,
yang akan menghilang seiring matahari terbit.
"Tante Anilla sudah pulang. Now, talk." Devon berkata dengan suara tenang, namun justru terdengar menakutkan.
Well, setidaknya menakutkan kalau bagi orang lain. Sedangkan di ruangan itu hanya ada 2 orang, dan keduanya tidak takut pada Devon.
"Soal apa?" Reyhan berkata dengan cuek.
"Apa-apaan sikap Ayah tadi? Ayah punya masalah apa sama pacarnya Mentari? Atau lebih tepatnya, Ayah punya masalah apa sama Mentari?"
"Nggak ada."
"Bullshit! Ayah mungkin biasa bersikap cuek, bahkan kejam. Tapi berlaku seperti bajingan ke perempuan yang sudah Ayah anggap kayak anak sendiri? Something's very wrong here."
"Kecuali fakta bahwa dia bukan anakku dan aku nggak bisa lagi menganggap dia sebagai anak."
Reyhan harus menghentikan otaknya sendiri agar tidak berfikir lebih jauh. Ada yang sangat salah dengan arah otaknya saat ini, dan interogasi Devon menuntunnya semakin ke arah sana.
"Dev, cukup."
Gertakkan Devon yang tadi menggebu-gebu akhirnya mereda. Pria itu menoleh ketika Lafy mendadak memeluk dari samping.
Kalau istrinya yang chubby itu sudah berkata cukup, bahkan sampai menggunakan kontak fisik, Devon tidak akan punya banyak energi untuk melawan.
Reyhan menghela napas pelan, tahu dirinya selamat dari interogasi. Setidaknya untuk kali ini.
***
"Papaku cuma mau ketemu kamu, Beb." Suara itu terdengar melalui pintu yang tertutup.
Mentari mengabaikan, justru memastikan pintu kamarnya sudah terkunci dari dalam. Bagaimana Gilang selalu bisa mencari cara agar diijinkan masuk oleh kakeknya? Sungguh menyebalkan.
"Mentari, seenggaknya datang setiap minggu ya? Please."
"Gue bilang nggak mau ya nggak mau!" bentak Mentari.
"Jangan paksa aku pakai cara kejam." Kali ini ancaman Gilang terdengar lebih serius, namun Mentari tidak gentar.
"Hah! Emang lo mau ngapain? Nyulik gue dari sini?"
"Nggak perlu. Aku cukup cerita semuanya ke kakek kamu, aku yakin dia sendiri yang bakal bawa kamu ke papaku."
Akhirnya Mentari membuka pintu. "Brengsek! Anjing ya lo emang!" makinya geram dengan suara tertahan.
"Terserah kamu mau ngatain aku apa. Yang penting, besok kamu aku jemput untuk ketemu papa," tukas Gilang. Tangannya terulur ke pipi Mentari, namun segera ditepis gadis itu. "Kamu pucat. Are you okay?"
"Bukan urusan lo!"
Gilang tetap berdiri dengan tangan bersidekap di dada, menunggu dalam tenang.
Mentari mendengus kasar. "Oke. Gue bakal ikut lo besok. Puas?!"
"Nggak, sampai aku mastiin kamu baik-baik aja." Namun kemudian Gilang melangkah mundur. "I'll see you tomorrow."
***
Setelah mondar mandir tidak tenang, berperang dengan batinnya sendiri, akhirnya Mentari melangkah ke arah balkon. Seingatnya Devon dan Lafy hanya menginap semalam. Semoga saja benar.
Beberapa saat kemudian akhirnya ia sampai di atas pohon mangga. Matanya menatap sayu ke arah pohon jambu tetangga sebelah. Tangga kayu itu tidak ada. Reyhan mengusirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)