Epilog

3.7K 391 18
                                    

"Asalkan Mentari-ku senantiasa bersinar,

maka aku akan baik-baik saja."

-Reyhan Windarta-


Pohon mangga dan pohon jambu itu tampak tidak berubah sedikit pun.

Mentari berjingkat, lalu menghela napas lega ketika menemukan tangga kayu terpasang di bawah pohon.

"Saya kira kamu kecapekkan."

Mentari menghentikan sejenak langkahnya yang menuruni tangga, cengiran lebar tersungging di bibir. "Kalau nggak ada saya yang gangguin Om, nanti Om kangen." Lalu lanjut menuruni tangga.

Langkahnya yang sudah hampir sampai di bawah terhenti sejenak. Sepasang lengan meraihnya, membawa Mentari dalam gendongan. Gadis itu segera mengalungkan tangan dan memeluk erat tubuh Reyhan.

Mendadak, ia tertawa. "Ini bunga matahari yang dulu? Banyak banget sekarang," ucapnya menatap ke sekeliling gazebo.

"Saya terobsesi sama bunga itu," ujar Reyhan sembarangan.

"Sama bunganya apa orangnya?" goda Mentari.

"Siapa emang orangnya?" balas Reyhan.

"Calon istrinya Om," jawab Mentari sambil tersenyum lebar.

"Kamu akan terus panggil saya 'Om' kayak gitu?"

Mentari mengangguk penuh semangat. "Boleh kan? Saya emang sukanya sama om-om."

Reyhan menyipitkan mata. "Nggak masalah. Tapi ralat omongan kamu itu."

"Yang mana?"

"Om-nya satu aja." Reyhan mencubit gemas hidung Mentari.

"Iya deh, iya. Saya sukanya cuma sama Om." Gadis itu menggosok hidungnya yang memerah.

"Bagus." Reyhan mendaratkan kecupan ringan di hidung Mentari sebagai hadiah.

Hasil pemeriksaan Mentari yang terbaru ia terima melalui e-mail tadi siang. Semuanya bagus, tingkat kekebalannya pun membaik. Bahkan kadar HIV itu tetap berada di angka yang sama, tidak ada tanda peningkatan sedikit pun.

Virus itu masih ada, Reyhan tahu. Tapi setidaknya berhasil ditekan hingga jumlah minimum.

Reyhan tersenyum di puncak kepala Mentari. Ia akan baik-baik saja. Selama Mentari-nya ada dan terus bersinar, maka mereka akan baik-baik saja.

"Om, saya kesininya kepagian ya? Itu mataharinya mulai terbit," ucap Mentari sambil menunjuk semburat kemerahan di ufuk Timur.

"Memang," ujar Reyhan. "It's okay. Saya toh nggak bisa tidur."

Mentari tersenyum lebar. "Nungguin saya ya?" godanya.

"Iya," aku Reyhan dengan gamblang. "Setelah ini, kita nggak akan pernah tidur terpisah lagi. Jelas?"

Mentari mengangguk setuju sebagai jawaban.

Di kejauhan, semburat merah muda semakin naik. Tanda satu pagi lagi akan mereka lewati.

Kisah ini diawali dengan benci pada pandangan pertama. Namun diakhiri dengan cinta untuk selamanya.

"Kitabukanlah ilusi yang akan menghilang ketika matahari terbit."


**********************************************************************************

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak atas semua dukungan pembaca yang sudah mengikuti kisah ini sampai akhir.

Terima kasih juga atas masukannya di part kemarin. Saya nggak sempat balas, tapi semuanya saya baca dan jadikan bahan pertimbangan lho. Saran2 dari kalian ngebantu banget. Sekali lagi terima kasih ya.

Dan bersamaan dengan tamatnya SUNRISE, saya ingin kasih sedikit pengumuman.

1. Seperti cerita saya yang lain, Sunrise pun akan terbit dalam bentuk cetak dan ebook. Jadi sebagian part akan saya hapus. Tapi tenang, nggak langsung kok. Mungkin akhir bulan ini atau awal April baru saya hapus sebagian isinya. Soalnya sekarang saya juga lagi tahap editing.

2. Di versi terbit nanti (baik ebook maupun cetak), akan ada ekstra chapter yang tidak pernah saya post di wattpad. Dan mengandung adegan 21++. Jadi untuk dedek-dedek gemes, anggap ini sebagai warning ya. Kalau mau kalian tetep bisa baca dengan skip bagian 21++ nya kok, nggak akan mengurangi esensi cerita juga. Wkwkwk.

3. Untuk buku saya yang lain, kemungkinan belum akan cetak ulang. Mungkin next time.

Sekali lagi, terima kasih banyak buat semua vote dan komen kalian selama ini. Love youuuu!!

Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang