"Starting over."
"Riri, kakek tadi beli nasi campur. Riri mau?" Darma menatap penuh harap pada cucunya yang baru bangun tidur.
Mata Mentari yang masih sayu tampak mengerjap sesaat, sebelum akhirnya ia mengangguk.
Darma segera meletakkan bungkusan yang tadi dibawanya, lalu menata piring. Mentari justru berlalu ke dapur, membuat Kakeknya menatap murung.
Namun sesaat kemudian, gadis itu kembali sambil menenteng dua buah gelas dan termos air. Darma seketika tersenyum lega.
"Beli dimana, Kek? Udah ada yang jualan pagi-pagi gini? Biasanya cuma ada tukang bubur kan?" tanya Mentari sembari mengisi air ke dalam gelas.
Ini adalah pertama kalinya Mentari berbicara banyak sejak ia datang. Kemarin malam gadis itu bahkan tidak keluar kamarnya sedikit pun, membuat Darma khawatir. Pria renta itu sempat mengantarkan makan malam ke kamar Mentari, sekaligus alasan untuk memastikan cucunya baik-baik saja.
"Oh, sekarang di ujung jalan mau masuk kompleks ini udah banyak yang jualan. Di taman kompleks juga banyak, malam apalagi, banyak makanan. Kalau Riri mau, nanti kakek temani," jawab Darma dengan penuh semangat.
"Emang Kakek nggak apa keluar malam-malam? Nggak capek?" tanya Mentari.
"Wah, kamu menghina. Kakek biar udah tua gini, masih kuat kalau cuma jalan sekitaran kompleks!" tukas Darma sambil pura-pira menunjukkan otot lengannya.
Mentari terkekeh kecil, lalu mulai melahap nasi campur. "Enak, Kek. Kalau yang malam, makanannya enak-enak juga?"
"Enak. Siang sampai sore malah ada bakso yang mangkal di taman, enak banget. Riri mau? Riri dulu suka bakso kan?"
"Sampai sekarang juga masih suka, Kek. Kakek juga masih makan bakso? Giginya aman nggak tuh?"
"Tenang, gigi palsu kakek ini bergaransi."
Kali ini Mentari tertawa sampai tersedak. Darma segera mengulurkan air minum sambil menepuk pelan punggung cucunya.
Ketika batuk Mentari sudah reda, barulah mereka kembali makan dengan lebih tenang.
Mentari lebih dulu bangkit dan membersihkan piring makan ketika selesai. Darma menatap cucunya dengan senyum lega. "Mungkin Mentari memang hanya butuh sedikit waktu untuk kembali terbiasa di rumah ini," pikirnya.
"Gimana kabar kamu, Ri?" tanya Darma akhirnya memberanikan diri.
Mentari yang baru saja mengeringkan piring seketika membeku sedetik. "Baik, Kek," jawabnya tanpa menoleh.
"Riri masih sekolah?"
"Baru lulus kemarin. Oh, ya. Jadi inget, bentar ya, Kek." Tanpa menunggu jawaban Darma, Mentari segera berlari ke kamarnya di lantai dua.
Sesaat kemudian gadis itu kembali dengan sebuah map besar. "Ini nilai mentari. Bagus-bagus lho, Kek." Gadis itu membuka map, memamerkan ijazah dan transkrip nilai pada kakeknya.
Darma seketika meraih kacamata yang selalu ia sematkan pada saku. "Wah, iya, bagus-bagus nilai kamu. Kakek bangga," puji Darma sambil menepuk pelan lengan Mentari. "Setelah ini, Riri mau apa? Kuliah? Kerja?"
Mentari mengulas senyum kecil. "Hmm, kayaknya mau nyantai dulu aja, nggak apa kan Kek?"
"Itu terserah Mentari, yang penting papa juga setuju. Oh ya, gimana kabar papa kamu? Sehat?"
Kali ini Mentari meraih map, berpura-pura menekuni isinya. "Papa sudah meninggal," jawabnya, membuat Darma tertegun sesaat. "11 tahun yang lalu," sambung Mentari yang semakin membuat Darma membelalak kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunrise (Oneshot - Sudah Terbit)
Romance"Kita adalah ilusi yang akan menghilang seiring matahari terbit." (Sudah diterbitkan secara Self Publish dan ebook di google play)